#7
Fake
Confessions
Rabu
pagi yang mendung kali ini tak membuat semangatku pudar. Hari ini adalah hari
pertama aku sekolah setelah 2 hari sakit, sebenarnya kepalaku masih agak pusing
tapi setelah melihat wajah teman-temanku kemarin yang datang kerumahku, aku
jadi punya semangat untuk sekolah, tentunya dengan harapan mendapatkan sebuah
‘keajaiban’ bersama Aby.
Dan
sebenarnya lagi, harusnya aku sudah sekolah kemarin, seperti yang sudah
kukatakan pada Gira, tapi entah mengapa, kemarin penyakit malas tiba-tiba
datang menyerangku, yang membuatku tak bisa lepas dari selimut dan bantal
guling. Padahal kondisiku sudah lumayan baik kemarin, meski masih sedikit
pusing, seperti alasanku sebelumnyalah.
Jam
pelajaran pertama hari ini adalah Pendidikan Jasmani, jadi kami olahraga! Yeay!
Aku dan Juni berjalan bersama menuju lapangan, tengah asyik mengobrol tentang
salah satu Girlband korea yang akan comeback dalam waktu dekat ini. Di depan
kami ada Ani dan Riska yang tengah berjalan bersama namun tak satupun dari
mereka mengatakan apapun, sunyi dan diam.
Masih
dalam perjalanan kami, aku melihat anak yang sering melewati kelas kami, anak
dengan perawakan tinggi dan kulut sawo matang. Semakin sering anak ini muncul
di depanku, semakin aku ingin tau lebih dalam tentang dia, bahkan aku tak tau
siapa nama anak ini.
Sesampainya
di lapangan, aku dan Juni langsung bergabung ke barisan. Menit kemudian para
siswa mulai berpencar, aku sendiri sudah meminggir tak ingin ikut olahraga karena
kondisiku masih belum terlalu pulih. Kata Mamaku, aku harus banyak gerak biar
ceapt sehat, tapi kata Papaku aku harus banyak berisitirahat. Sebenarnya aku
bingung mau mengikuti kata siapa, jadi kuputuskan untuk mengikuti keduanya.
Beristirahat sebentar lalu ikut berolahraga sebentar.
Aku
memandang para siswa wanita yang tengah bermain bola Volly dengan ceria, di
sisi lain, para anak laki-laki tengah bermain bola basket. Aby dan Adit ada
pada tim yang berbeda hingga sekarang aku dapat melihat mereka berdua tengah
memperebutkan bola lengkap dengan keringat yang jatuh dari wajah mereka dan itu
membuat mereka berdua tampak keren.
Oh
astaga! Harusnya aku tak lagi membahas Adit setelah apa yang telah ia lakukan
padaku beberapa hari yang lalu, setelah aku sakit hati! Harusnya aku hanya
boleh fokus pada Aby, cukup Aby seorang!
Tahu-tahu,
Adit muncul di hadapanku untuk mengambil bola yang entah kapan dan mengapa
sudah ada di depanku, ada apa denganmu wahaai bola basket yang tersesat?
“Udah
sehat?” tanya Adit di sela-sela waktunya mengambil bola itu, dan ia pergi tanpa
perlu repot-repot mendengar jawaban dariku. Oke, kuakui aku terlalu lamban
dalam mencerna ucapannya barusan, tapi kan pertanyaan semacam itu adalah
pertanyaan yang paling tak mungkin keluar dari mulut manis Adit. Kalau begini
aku akan gagal dalam program Mupon-ku!
Tanpa di
duga, seseorang memanggilku, “LIAN! Mau ikut nggak, kita kekurangan pemain
nih!” panggil Dila dari lapangan Volly dengan semangatnya, aku mengangguk
setuju lalu berlari kearah mereka.
“Tim
mana yang kurang” tanyaku sambil berdiri di tengah-tengah lapangan dengan gaya
cool – menurutku saja, lho ya.
“Tim
sini aja Lian” tawar Ani dan aku mengikuti tawarannya itu.
Permainnan
telah berlangsung selama beberapa menit, namun yang kulakukan hanya berlari
untuk mengambil bola, tahu begini lebih baik aku duduk menonton kalian bermain!
Bukannya jadi pembantu dalam ngambilin bola kayak begini, kalian nggak tahu apa
kalau kondisiku ini masih belum terlalu baik?!
“Lian
tolong ambilin!” Dan kata-kata
menjengkelkan itu terdengar lagi.
“Kenapa
harus aku?” komentarku mulai terdengar marah, tak terima karena terus menerus
jadi pembantu mereka. Apa susahnya sih mengambil bola sendiri? Kan mereka yang
memukulnya hingga jatuh keluar lapangan, bukan aku! Disini aku hanya sebagai
patung selamat datang!
“Karena
kamu yang paling dekat buat ngambil bola”
Oke,
alasan yang logis!
Aku mendengus
dengan langkah malas-malasan mengejar bola yang tengah menggelinding tanpa ada
niat untuk berhenti itu, lalu bola lain lewat. Dasar! Apa mereka benar-benar
ingin mempermainkanku? Ini tidak lucu tahu!
Setelah
banyak sekali protes, akhirnya aku menunduk untuk mengambil bola yang kebetulan
jaraknya tak terlalu jauh dariku, namun tangan lain muncul. Aku mengangkat
kepalaku untuk melihat siapa yang menjadi korban sepertiku hingga harus
mengambil bola juga, tapi aku masih belum melihat wajahnya dengan terlalu jelas
karena sinar mentari pagi yang tiba-tiba muncul – padahal tadi kan cuaca
mendung! – membuatku silau, perlahan wajah itu tertampang nyata. Aby!
Aku
terpaku sebentar dengan posisi seperti itu, lalu kembali ke akal sehatku. Aku
menatap tanganku yang sudah menyentuh bola itu dan tangan Aby yang ikut-ikutan
mengambil bola itu juga.
Demi
menyembunyikan jantungku yang berdentam-dentam, juga menyembunyikan wajahku
yang pastinya sudah memerah, aku menendang bola itu jauh-jauh. Aku tahu kakiku
sedang sakit sekarang karena yang ku tendang itu bola basket kencang, bukan
sekedar bola kaki atau bola volly. Melihat tingkahku ini, Aby hanya menghela
nafas dan kembali mengejar bola itu.
Satu
kata, BODOH!
Bodohnya
aku, bukannya memanfaatkan kejadian romantis ala drama-drama korea yang selama
ini sering aku impi-impikan, aku malah menendang bola itu. Bodoh! Harusnya kan
aku mengambil bola itu dan ia ikut0-ikutan mengambilnya lalu kami bangun
bersamaan sambli saling tatap dengan penuh cinta. Ahhh bodoh, bodoh, BODOH!
Aku
kembali ke lapangan lalu melemparkan bola volly itu, selanjutnya aku pergi
meninggalkan mereka, aku sudah tak memiliki minat untuk bermain volly lagi
setelah apa yang terjadi.
~*~
Aku
duduk dibangkuku sambil berpangku tangan menatap Ani dan Riska tengah
berbincang-bincang dengan amat serius, sebenarnya aku tahu itu tentang apa tapi
sesuatu dalam diriku memaksa untuk mengetahui lebih dalam. Aku pun berdiri
hendak menghampiri mereka namun kembali duduk setelah mendengar suara bel masuk
yang berbunyi.
Pukul
12.30, pelajaran Matematika dan ibunya tak bisa datang entah karena apa – itu
kata Adit si ketua kelas. Adit tengah berdiri di depan kelas dengan membawa
sebuah kertas, ia pun menuliskannya soal itu kedepan tanpa perlu repot-repot
menyuruh sekertaris untuk menuliskan itu, anak yang rajin.
“Kerjakan!
Selesai nggak selesai wajib di kumpul!” teriaknya dan mendapat anggukan kompak dari
kami sekelas, kami pun mulai mengerjakan soal itu.
Para
siswa mulai berpencar hingga tak satupun yang berada di bangkunya, bahkan aku
sendiri sudah duduk disamping Adit, duduk di bangkunya Aby, sedangkan Aby
tengah duduk di bangkuku dengan nyamannya. Beberapa menit kemudian aku sudah kembali duduk
dibangkuku bersama Juni sedangkan Aby sudah kembali duduk di bangkunya bersama
dengan Adit. Satu kata, aneh.
Aku,
Irma dan Ifah tengah membuat tugas Matematika bersama, lalu Adit datang disusul
dengan satu per satu anak buahnya. Hingga akhirnya, di barisan kami ini yang
biasanya berisi 6 siswa saja, berubah menjadi barisan paling padat, ada 10
siswa labih disini!
“Gimana,
nomor 5 udah belum?” tanya Adit entah pada siapa dan tak ada satupun yang
menjawab pertanyaannya, haha. “WOY! NO 5 UDAH BELUM?” teriaknya emosi.
“Udah,
nih” jawab Irma akhirnya. Dan dengan sekali gerakan cepat, Adit yang entah
kapan sudah duduk di sebelahku mengulurkan tangannya melewatiku dan mengambil
kertas itu, aku sendiri sudah diam tak bersuara.
“CEPET!
Tinggal 10 menit lagi!” teriak Tio membuat kami gelabakan, aku buru-buru
membalik bangkuku namun bangku itu terasa berat dan saat aku menoleh ke
belakang, seseorang telah duduk satu bangku denganku, SATU BANGKU dan itu
adalah, “Aby”
“Iya,
kenapa?” jawabnya lalu menoleh padaku membuat mata kami bertemu, dalam jarak
yang hanya beberapa centi ini, aku yakin wajahku sudah memerah sekarang.
“Nggak
apa kok” kataku kembali duduk di posisi semula. Sekali lagi, aku berada pada
jarak yang sangat dekat dengan Aby, kali ini aku bahkan berada di satu bangku
yang sama dengannya, SATU BANGKU!
Kenapa?
Kenapa keajaiban beruntun ini datang padaku? apakah ini sebuah pertanda akan
muncul keajaiban lain? Atau bahkan keajaiban ini memakan tumbal? Ahh, aku tak tahu.
Tapi jauh di lubuk hatiku, aku ingin menikmati masa-masa ini, aku ingin waktu
berhenti, aku ingin merasakan panas suhu tubuh Aby yang sekaang terasa di
pundakku.
“IBU
OTW!” Tio kembali berteriak membuat kami semua terperanjat, aku menatap Aby
yang tengah mempercepat tulisannya, bahkan ia tak mendengar apa lagi yang
sedang Riska katakan padanya padahal sejak tadi, mereka tengah sibuk
mengobrolkan sesuatu yang aku tak tahu pasti apa itu dan tentu saja diabaikan
seperti itu membuat Riska marah. Rasakan!
Aku yang
sedang tertawa cekikikan terkejut karena tiba-tiba Aby bangun dan berlari
terburu-buru kembali ke bangkunya. “Untung nggak jatuh”
Dan ibu
Intan masuk kekelas dengan langkah besar-besar. Sudah terlambat untuk masuk
ibu, dan tau tidak, ibu lebih baik masuk ke kelas saja kalau taunya nggak masuk
tapi ngasih tugas banyak plus susah kayak gini.
“Maaf
yah anak-anak karena ibu nggak bisa masuk. Tapi tugasnya sudah selesai semua
kan? Adit, kumpulin tugasnya yang tadi. Siswa yang lain boleh keluar” Ibu Intan
berkata tanpa jeda.
Aku dan
anak-anak yang lain mulai mengumpulkan tugas kami ke meja Adit, lalu
mempersiapkan diri untuk pulang.
“Inget,
jangan pulang dulu. Hari ini kita ada rapat kelas” bisik Juni di telingaku.
Ahh,
benar juga. Hari ini kan rapat kelas, jadi aku harus menyisihkan waktu
berhargaku untuk nonton drama korea demi rapat kelas tak berguna ini. Sial!
Aku
keluar dari kelas dengan membawa botol air minumku, niatku yang sebenarnya
adalah untuk menghirup udara segar tanpa tugas di luar lalu minum ala
iklan-iklan minuman penyegar di TV, Oh sepertinya aku kena masalah kordiopulmonar
sekarang. Aku pun mencuci tanganku dengar air dari botol minum yang kubawa,
lalu tangan seseorang tiba-tiba ikut mencuci tangan diair yang sama denganku,
sekaligus mendekatkan dirinya padaku, hingga posisi kami sekarang bersebelahan,
orang itu...
“Aby”
Untuk ke sekian kalinya, aku menyebut nama itu, dan seperti biasanya orang yang
di panggil menyauti dengan kata “Iya, kenapa?”
Tahu-tahu,
Ifah muncul bersama Juni. “Ih, kalian kenapa sih? Dari tadi nempel mulu. Kayak
orang pacaran aja” komentar Ifah, dan di setujui oleh Juni lalu sekian detik
kemudian mereka menatapku dengan tatatapan ciye-yang-akhirnya-bisa-deket-deket-sama-Aby,
dan Ifah memberiku kode lewat gerakan matanya.
Kuakui
aku orang yang cukup lamban dalam menerima rangsangan kode seperti yang sedang
di lakukan Ifah sekarang, jadi aku hanya menggendikan bahu dan menutup botol
minumanku.
Dan
seakan tak ada yang lebih mengejutkan lagi, ibu Intan tiba-tiba muncul dari
pintu kelas, menatap kami berdua yang posisinya masih belum berubah dengan
tatapan yang mencurigakan, ia pun berlalu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Habislah, nama baikku sebagai cewek baik-baik sudah tercemar!
Memang
sih aku suka berada pada jarak yang dekat dengan Aby seperti ini, tapi kan aku
jadi curiga kalau seperti ini terus. Rasanya tak mungkin keajaiban seperti ini
datang bertubi-tubi, ini seperti aku adalah sebuah bunga layu di tengah-tengah
bunga yang tengah bermekaran lalu sebuah kupu-kupu datang dan lebih memilih
untuk menghampiriku dari pada bunga lainnya. Ini aneh, semoga saja hal buruk
tak datang setelah kejadian ini.
~*~
Esoknya,
aku berangkat kesekolah. Suasana hari ini di dominasi dengan hujan
rintik-rintik.
Sekelompok
kakak kelas dengan wajah cantik-cantik lewat, semilir bau parfum mereka yang
menecemarkan paru-paru membuatku terbatuk-batuk. Sekarang adalah waktu
istirahat makan, dan aku tengah duduk di teras kelasku dengan membawa bangku
dengan susuah payah dari dalam.
Ditanganku
ada teh gelas yang masih tertutup dengan rapi, bahkan sedotannya masih ada di
penjualnya karena tadi aku lupa memintanya. Di pangkuanku ada beberapa makanan
ringan yang sedari tadi tak ku gerak sama sekali. Melihat ini, aku merasa
kembali ke masa-masa SMPku.
Dulu,
kalau aku sedang latihan paduan suara dan punya banyak makanan dan minuman
seperti ini biasanya akan jadi bahan incarannya Adit dkk. Dulu pernah aku coba
menaruh permen karet 5 buah dan snack nabati ship 2 di sampingku
sedangkan aku sibuk memainkan handphoneku, tak perlu waktu lama, Adit, Tio dan
salah satu adik kelas sudah mengambilnya dalam satu gerakan cepat lalu memberikan
ekspresi ala pencuri handal. Selanjutnya, aku dan teman-temanku muncul dan
mambuat mereka malu sendiri saat tahu kalu aksi mereka tadi hanya akal-akalan
kami saja.
Lucu
Mengingat
hal ini, membuatku rindu dengan masa-masa SMP. Biasanya saat jam istirahat
seperti ini, aku, Via dan Heru masih berada di kantin, bergulat dengan sekian
banyak orang demi mendapatkan makanan yang kami inginkan. Sungguh masa-masa
yang sangat indah, aku benar-benar merindukan mereka!
Tringg
2 dari 3
jumlah makanan ringan yang tadi ada di pangkuanku sudah menghilang. Aku
buru-buru mencarinya dan mendapati sosok Adit di dalam kelas tengah membukanya
dan menatap kearahku takut-takut dan ia langsung melengos saat tau aku tengah
menatapnya. Kebiasaan dia memang tidak berubah rupanya.
“ADIT!”
teriakku, sambil mendekatinya dengan langkah yang di hentak-hentakkan.
Sedangkan Adit sudah berlari keluar kelas dengan tetawa khasnya.
“Sabar
ya Lian. Kamu kayak nggak tau sama sifat Adit aja” ucap Tio simpatik. Diikuti
oelh Putra dan yang lainnya. Sedangkan aku hanya tersenyum miris memikirkan
nasib makananku yang akan menjadi santap siangnya Adit.
Tak
berselang lama, Adit sudah kembali masuk ke kelas dengan wajah kelelahan.
Kenapa lagi dia? Habis di kejar orang lain karena mengambil makanan mereka?
“Makanan aku mana?” kataku sambil mendekatkan diri padanya dalam jarak yang
begitu dekat.
“Itu
nggak penting. Sekarang, aku dapet tugas dari bu Kimia kita. Katanya dia nggak
bisa masuk” ucapnya dengan nafas tersengal, lalu tersenyum penuh kemenangan,
seakan ia adalah pembawa kabar gembira ke kelas ini.
~*~
Aku
menulis catatan kimia yang disuruh oleh ibu Kimia yang aku lupa namanya siapa,
sedangkan teman-temanku yang lain sibuk bermain, termasuk ketua kelas,
wakilanya dan para sekertaris. Fiuh, kelas yang aneh kan.? Begitulah
Sret
Tulisanku
tercoret panjang. Aku menoleh geram ke sampingku. “Udah Fah udah! Ini yang ke 3
kalinya lho kamu coret”
Ifah
hanya tertawa, “Kalau nggak sanggup, pindah sana” ucapnya kejam. Padahalkan
kami baru satu minggu ini sebangku, masa’ dia sudah mau mengusirku dengan cara
seperti ini. Tau begini, aku lebih memilih kembali duduk bersama Juni.
“Oke, aku
pindah” ucapku akhirnya, menyerah dengan keadaan ini. Aku lelah! Kalian pikir
aku tidak jenuh kalau tiap hari selalu di usili seperti tadi? Kalian pikir aku
tidak akan marah karena hal-hal seperti ini?! Oke mungkin ini masalah sepel,
tapi kalau terus menerus dilakukan, aku jenuh juga, aku marah juga!
Aku
duduk di belakang Aby dan Riska yang duduk di satu meja yang sama, hanya saja
posisinya membelakangiku.
Mungkin,
mungkin saja aku akan merasakan sakit yang teramat hebatnya jika melihta mereka
berdua dalam jarak yang sedekat itu. Tapi aku tak melakukan apapun. Aku malah
sibuk dengan catatan yang harus ku ringkas itu. Melupakan tentang Aby dan juga
Riska yang ada di sampingnya.
Tiba-tiba,
Tio berteriak histeris di depan, “Akhirnya. Aby kena. Hahaha”
Semua
orang yang bermain permainan itu langsung menatap ke Aby dengan tatapan penuh
selidik. Aku sendiri mulai tertarik dengan apa yang mereka mainkan, meski
mataku masih tetap tertuju pada buku
kimia yang ada di depanku.
“Pilih
pertanyaan atau tantangan?!” teriak Tio heboh, sangat heboh malah.
Ohh,
rupanya mereka sedang bermain ‘pertanyaan atau tantangan’, pikirku mereka
bermain permainan yang sedikit berguna, rupanya. Huh, sama sekali tak berguna!
Kalau memilih pertanyaan, artinya mereka harus rela menjawab pertanyaan yang di
tunjukkan pada mereka sedangkan kalau mereka memilih tantangan, mereka harus
menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Kasihan sekali Aby harus kena dalam
putaran kali ini.
“Tantangan”
ucap Aby semangat, bahkan sampai tertawa-tawa tak jelas. Tio pun tertawa licik,
aku sendiri hanya menatapnya curiga. Apa yang dipikirkan oleh anak ini?
Tio
berjalan keluar bangkunya dan mendekati Aby yang duduk bersama Riska.
“Tantangannya adalah... Nembak Lian dan pastiin kalau Lian nerima kamu!” teriaknya, sampai-sampai orang dari kelas
sebelah yang kebetulan juga tidak be;ajar mengintip dari sudut jendela.
APA-APAAN?!
“Kok
aku?” tanyaku pada Tio, tak setuju dengan tindakannya. Memang sih aku menyukai
Aby, tapi tidak harus begini. Dan kenapa Tio harus memilih aku? Memangnya dia
tahu aku suka sama Aby? Tidak kan? TIDAK!!!
“Karena
kalian cocok” ucap Gira mewakili yang lain..
Oke,
terima kasih gira. Dan semoga kecocokan kami akan berlanjut hingga dewasa nanti
– apa ini? – tapi aku...
Aby
berdiri dengan gaya sok – memang – coolnya dan membalik badannya, ia
mendekatkan tubuhnya kearahku, membuat jantungku berdegub tak karuan. Ini
terlalu dekat! “Kamu terima-terima aja yah” pintanya sambil berbisik, aku hanya
menatap wajahnya datar lalu mengangguk kaku.
Deg deg
deg
“Oke,
dengerin baik-baik. Lian, aku su–”
“ABY!!!
Buku aku mana!” Dari jauh, Indah berteriak dengan kerasnya, membuat seisi kelas
menatapnya sangar, termasuk aku. oh, kenapa semua anak kelas ini harus peduli
dengan peristiwa ini, aku jadi malu! Its so embarrassment, ya!
Memang sih,
aku benar-benar senang dengan peristiwa ini, tapi kan aku malu. ini di depan
banyak orang lho, dan kenapa Aby harus teriak-teriak begitu? Memangnya dia
punya perasaan yang sama denganku? semoga saja sih iya, tapi kan..
Tahu-tahu,
wajah Aby sudah berada pada jarak beberapa centi di depanku, “Ini Cuma main-main,
lho. Jadi terima-terima aja yah”
Aku
kecewa pemirsa. KECEWA! Dia mengingatkanku kalau ini Cuma ‘Main-main’. Salahku,
harusnya aku tak berharap terlalu banyak.
“Lian,
aku suka kamu. Mau nggak jadi pacar aku?” Aby kembali melanjutkan kata-katanya
yang tadi sempat terpotong.
Aku hanya
mengangguk sambil berkata “Iya, aku juga” dan selanjutnya anak-anak kelas sudah
bersorak senang. Aku memaksakan diri untuk tertawa. Di sisi lain, aku sangat
ingin menangis. Harusnya aku bisa menerima kalau ini Cuma main-main. Lagi pula
aku tadi sempat mengatakan kalau permainan ini tak ada gunanya. Ini sama saja
dengan ‘peristiwa ini tak ada gunanya’. Memikirkannya membuatku semakin
bertambah sedih.
Aby
kembali duduk di bangkunya, sedangkan Riska sudah pergi entah kemana. Di sudut
sana, Juni, Ifah dan yang lainnya hanya menatapku dengan senyum nakalnya dan
dii tengah-tengah kelas, Gira dengan semangatnya berteriak “Inget yah
temen-temen. Tanggal 5 desember, Lian sama Aby jadian!”
Aku
menatap mereka nanar.
Benar,
tanggal 5 desember. Aku dan Aby berpacaran.
Aku
tersenyum terpaksa sambil terus memandang kesekitar, lalu menemukan sosok Ani
tengah menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku jelaskan, lalu Wulan yang
hanya menatapku kosong dan yang terakhir Adit, tengah memandangku dengan
tatapan selamat-yah.
Pemandangan
ini membuatku sedih.
Tuhan,
tolong ingatkan aku kalau ini hanya sebuah permainan. Ini tak lebih dari fake
confession.
Mohon di maafkan karena banyaknya kesalahan kata, cerita yang ngawur dan hal-hal tak menyenangkan halinnya. terima kasih sudah membaca