Minggu, 15 Maret 2015

Bukan Cerpen tapi Diary



#7
Fake Confessions

               Rabu pagi yang mendung kali ini tak membuat semangatku pudar. Hari ini adalah hari pertama aku sekolah setelah 2 hari sakit, sebenarnya kepalaku masih agak pusing tapi setelah melihat wajah teman-temanku kemarin yang datang kerumahku, aku jadi punya semangat untuk sekolah, tentunya dengan harapan mendapatkan sebuah ‘keajaiban’ bersama Aby.
               Dan sebenarnya lagi, harusnya aku sudah sekolah kemarin, seperti yang sudah kukatakan pada Gira, tapi entah mengapa, kemarin penyakit malas tiba-tiba datang menyerangku, yang membuatku tak bisa lepas dari selimut dan bantal guling. Padahal kondisiku sudah lumayan baik kemarin, meski masih sedikit pusing, seperti alasanku sebelumnyalah.
Jam pelajaran pertama hari ini adalah Pendidikan Jasmani, jadi kami olahraga! Yeay! Aku dan Juni berjalan bersama menuju lapangan, tengah asyik mengobrol tentang salah satu Girlband korea yang akan comeback dalam waktu dekat ini. Di depan kami ada Ani dan Riska yang tengah berjalan bersama namun tak satupun dari mereka mengatakan apapun, sunyi dan diam.
Masih dalam perjalanan kami, aku melihat anak yang sering melewati kelas kami, anak dengan perawakan tinggi dan kulut sawo matang. Semakin sering anak ini muncul di depanku, semakin aku ingin tau lebih dalam tentang dia, bahkan aku tak tau siapa nama anak ini.
Sesampainya di lapangan, aku dan Juni langsung bergabung ke barisan. Menit kemudian para siswa mulai berpencar, aku sendiri sudah meminggir tak ingin ikut olahraga karena kondisiku masih belum terlalu pulih. Kata Mamaku, aku harus banyak gerak biar ceapt sehat, tapi kata Papaku aku harus banyak berisitirahat. Sebenarnya aku bingung mau mengikuti kata siapa, jadi kuputuskan untuk mengikuti keduanya. Beristirahat sebentar lalu ikut berolahraga sebentar.
Aku memandang para siswa wanita yang tengah bermain bola Volly dengan ceria, di sisi lain, para anak laki-laki tengah bermain bola basket. Aby dan Adit ada pada tim yang berbeda hingga sekarang aku dapat melihat mereka berdua tengah memperebutkan bola lengkap dengan keringat yang jatuh dari wajah mereka dan itu membuat mereka berdua tampak keren.
Oh astaga! Harusnya aku tak lagi membahas Adit setelah apa yang telah ia lakukan padaku beberapa hari yang lalu, setelah aku sakit hati! Harusnya aku hanya boleh fokus pada Aby, cukup Aby seorang!
Tahu-tahu, Adit muncul di hadapanku untuk mengambil bola yang entah kapan dan mengapa sudah ada di depanku, ada apa denganmu wahaai bola basket yang tersesat?
“Udah sehat?” tanya Adit di sela-sela waktunya mengambil bola itu, dan ia pergi tanpa perlu repot-repot mendengar jawaban dariku. Oke, kuakui aku terlalu lamban dalam mencerna ucapannya barusan, tapi kan pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang paling tak mungkin keluar dari mulut manis Adit. Kalau begini aku akan gagal dalam program Mupon-ku!
Tanpa di duga, seseorang memanggilku, “LIAN! Mau ikut nggak, kita kekurangan pemain nih!” panggil Dila dari lapangan Volly dengan semangatnya, aku mengangguk setuju lalu berlari kearah mereka.
“Tim mana yang kurang” tanyaku sambil berdiri di tengah-tengah lapangan dengan gaya cool – menurutku saja, lho ya.
“Tim sini aja Lian” tawar Ani dan aku mengikuti tawarannya itu.
Permainnan telah berlangsung selama beberapa menit, namun yang kulakukan hanya berlari untuk mengambil bola, tahu begini lebih baik aku duduk menonton kalian bermain! Bukannya jadi pembantu dalam ngambilin bola kayak begini, kalian nggak tahu apa kalau kondisiku ini masih belum terlalu baik?!
“Lian tolong ambilin!”  Dan kata-kata menjengkelkan itu terdengar lagi.
“Kenapa harus aku?” komentarku mulai terdengar marah, tak terima karena terus menerus jadi pembantu mereka. Apa susahnya sih mengambil bola sendiri? Kan mereka yang memukulnya hingga jatuh keluar lapangan, bukan aku! Disini aku hanya sebagai patung selamat datang!
“Karena kamu yang paling dekat buat ngambil bola”
Oke, alasan yang logis!
Aku mendengus dengan langkah malas-malasan mengejar bola yang tengah menggelinding tanpa ada niat untuk berhenti itu, lalu bola lain lewat. Dasar! Apa mereka benar-benar ingin mempermainkanku? Ini tidak lucu tahu!
Setelah banyak sekali protes, akhirnya aku menunduk untuk mengambil bola yang kebetulan jaraknya tak terlalu jauh dariku, namun tangan lain muncul. Aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang menjadi korban sepertiku hingga harus mengambil bola juga, tapi aku masih belum melihat wajahnya dengan terlalu jelas karena sinar mentari pagi yang tiba-tiba muncul – padahal tadi kan cuaca mendung! – membuatku silau, perlahan wajah itu tertampang nyata. Aby!
Aku terpaku sebentar dengan posisi seperti itu, lalu kembali ke akal sehatku. Aku menatap tanganku yang sudah menyentuh bola itu dan tangan Aby yang ikut-ikutan mengambil bola itu juga.
Demi menyembunyikan jantungku yang berdentam-dentam, juga menyembunyikan wajahku yang pastinya sudah memerah, aku menendang bola itu jauh-jauh. Aku tahu kakiku sedang sakit sekarang karena yang ku tendang itu bola basket kencang, bukan sekedar bola kaki atau bola volly. Melihat tingkahku ini, Aby hanya menghela nafas dan kembali mengejar bola itu.
Satu kata, BODOH!
Bodohnya aku, bukannya memanfaatkan kejadian romantis ala drama-drama korea yang selama ini sering aku impi-impikan, aku malah menendang bola itu. Bodoh! Harusnya kan aku mengambil bola itu dan ia ikut0-ikutan mengambilnya lalu kami bangun bersamaan sambli saling tatap dengan penuh cinta. Ahhh bodoh, bodoh, BODOH!
Aku kembali ke lapangan lalu melemparkan bola volly itu, selanjutnya aku pergi meninggalkan mereka, aku sudah tak memiliki minat untuk bermain volly lagi setelah apa yang terjadi.
~*~
Aku duduk dibangkuku sambil berpangku tangan menatap Ani dan Riska tengah berbincang-bincang dengan amat serius, sebenarnya aku tahu itu tentang apa tapi sesuatu dalam diriku memaksa untuk mengetahui lebih dalam. Aku pun berdiri hendak menghampiri mereka namun kembali duduk setelah mendengar suara bel masuk yang berbunyi.
Pukul 12.30, pelajaran Matematika dan ibunya tak bisa datang entah karena apa – itu kata Adit si ketua kelas. Adit tengah berdiri di depan kelas dengan membawa sebuah kertas, ia pun menuliskannya soal itu kedepan tanpa perlu repot-repot menyuruh sekertaris untuk menuliskan itu, anak yang rajin.
“Kerjakan! Selesai nggak selesai wajib di kumpul!” teriaknya dan mendapat anggukan kompak dari kami sekelas, kami pun mulai mengerjakan soal itu.
Para siswa mulai berpencar hingga tak satupun yang berada di bangkunya, bahkan aku sendiri sudah duduk disamping Adit, duduk di bangkunya Aby, sedangkan Aby tengah duduk di bangkuku dengan nyamannya. Beberapa  menit kemudian aku sudah kembali duduk dibangkuku bersama Juni sedangkan Aby sudah kembali duduk di bangkunya bersama dengan Adit. Satu kata, aneh.
Aku, Irma dan Ifah tengah membuat tugas Matematika bersama, lalu Adit datang disusul dengan satu per satu anak buahnya. Hingga akhirnya, di barisan kami ini yang biasanya berisi 6 siswa saja, berubah menjadi barisan paling padat, ada 10 siswa labih disini!
“Gimana, nomor 5 udah belum?” tanya Adit entah pada siapa dan tak ada satupun yang menjawab pertanyaannya, haha. “WOY! NO 5 UDAH BELUM?” teriaknya emosi.
“Udah, nih” jawab Irma akhirnya. Dan dengan sekali gerakan cepat, Adit yang entah kapan sudah duduk di sebelahku mengulurkan tangannya melewatiku dan mengambil kertas itu, aku sendiri sudah diam tak bersuara.
“CEPET! Tinggal 10 menit lagi!” teriak Tio membuat kami gelabakan, aku buru-buru membalik bangkuku namun bangku itu terasa berat dan saat aku menoleh ke belakang, seseorang telah duduk satu bangku denganku, SATU BANGKU dan itu adalah, “Aby”
“Iya, kenapa?” jawabnya lalu menoleh padaku membuat mata kami bertemu, dalam jarak yang hanya beberapa centi ini, aku yakin wajahku sudah memerah sekarang.
“Nggak apa kok” kataku kembali duduk di posisi semula. Sekali lagi, aku berada pada jarak yang sangat dekat dengan Aby, kali ini aku bahkan berada di satu bangku yang sama dengannya, SATU BANGKU!
Kenapa? Kenapa keajaiban beruntun ini datang padaku? apakah ini sebuah pertanda akan muncul keajaiban lain? Atau bahkan keajaiban ini memakan tumbal? Ahh, aku tak tahu. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku ingin menikmati masa-masa ini, aku ingin waktu berhenti, aku ingin merasakan panas suhu tubuh Aby yang sekaang terasa di pundakku.
“IBU OTW!” Tio kembali berteriak membuat kami semua terperanjat, aku menatap Aby yang tengah mempercepat tulisannya, bahkan ia tak mendengar apa lagi yang sedang Riska katakan padanya padahal sejak tadi, mereka tengah sibuk mengobrolkan sesuatu yang aku tak tahu pasti apa itu dan tentu saja diabaikan seperti itu membuat Riska marah. Rasakan!
Aku yang sedang tertawa cekikikan terkejut karena tiba-tiba Aby bangun dan berlari terburu-buru kembali ke bangkunya. “Untung nggak jatuh”
Dan ibu Intan masuk kekelas dengan langkah besar-besar. Sudah terlambat untuk masuk ibu, dan tau tidak, ibu lebih baik masuk ke kelas saja kalau taunya nggak masuk tapi ngasih tugas banyak plus susah kayak gini.
“Maaf yah anak-anak karena ibu nggak bisa masuk. Tapi tugasnya sudah selesai semua kan? Adit, kumpulin tugasnya yang tadi. Siswa yang lain boleh keluar” Ibu Intan berkata tanpa jeda.
Aku dan anak-anak yang lain mulai mengumpulkan tugas kami ke meja Adit, lalu mempersiapkan diri untuk pulang.
“Inget, jangan pulang dulu. Hari ini kita ada rapat kelas” bisik Juni di telingaku.
Ahh, benar juga. Hari ini kan rapat kelas, jadi aku harus menyisihkan waktu berhargaku untuk nonton drama korea demi rapat kelas tak berguna ini. Sial!
Aku keluar dari kelas dengan membawa botol air minumku, niatku yang sebenarnya adalah untuk menghirup udara segar tanpa tugas di luar lalu minum ala iklan-iklan minuman penyegar di TV, Oh sepertinya aku kena masalah kordiopulmonar sekarang. Aku pun mencuci tanganku dengar air dari botol minum yang kubawa, lalu tangan seseorang tiba-tiba ikut mencuci tangan diair yang sama denganku, sekaligus mendekatkan dirinya padaku, hingga posisi kami sekarang bersebelahan, orang itu...
“Aby” Untuk ke sekian kalinya, aku menyebut nama itu, dan seperti biasanya orang yang di panggil menyauti dengan kata “Iya, kenapa?”
Tahu-tahu, Ifah muncul bersama Juni. “Ih, kalian kenapa sih? Dari tadi nempel mulu. Kayak orang pacaran aja” komentar Ifah, dan di setujui oleh Juni lalu sekian detik kemudian mereka menatapku dengan tatatapan ciye-yang-akhirnya-bisa-deket-deket-sama-Aby, dan Ifah memberiku kode lewat gerakan matanya.
Kuakui aku orang yang cukup lamban dalam menerima rangsangan kode seperti yang sedang di lakukan Ifah sekarang, jadi aku hanya menggendikan bahu dan menutup botol minumanku.
Dan seakan tak ada yang lebih mengejutkan lagi, ibu Intan tiba-tiba muncul dari pintu kelas, menatap kami berdua yang posisinya masih belum berubah dengan tatapan yang mencurigakan, ia pun berlalu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Habislah, nama baikku sebagai cewek baik-baik sudah tercemar!
Memang sih aku suka berada pada jarak yang dekat dengan Aby seperti ini, tapi kan aku jadi curiga kalau seperti ini terus. Rasanya tak mungkin keajaiban seperti ini datang bertubi-tubi, ini seperti aku adalah sebuah bunga layu di tengah-tengah bunga yang tengah bermekaran lalu sebuah kupu-kupu datang dan lebih memilih untuk menghampiriku dari pada bunga lainnya. Ini aneh, semoga saja hal buruk tak datang setelah kejadian ini.
~*~
Esoknya, aku berangkat kesekolah. Suasana hari ini di dominasi dengan hujan rintik-rintik.
Sekelompok kakak kelas dengan wajah cantik-cantik lewat, semilir bau parfum mereka yang menecemarkan paru-paru membuatku terbatuk-batuk. Sekarang adalah waktu istirahat makan, dan aku tengah duduk di teras kelasku dengan membawa bangku dengan susuah payah dari dalam.
Ditanganku ada teh gelas yang masih tertutup dengan rapi, bahkan sedotannya masih ada di penjualnya karena tadi aku lupa memintanya. Di pangkuanku ada beberapa makanan ringan yang sedari tadi tak ku gerak sama sekali. Melihat ini, aku merasa kembali ke masa-masa SMPku.
Dulu, kalau aku sedang latihan paduan suara dan punya banyak makanan dan minuman seperti ini biasanya akan jadi bahan incarannya Adit dkk. Dulu pernah aku coba menaruh permen karet 5 buah dan snack nabati ship 2 di sampingku sedangkan aku sibuk memainkan handphoneku, tak perlu waktu lama, Adit, Tio dan salah satu adik kelas sudah mengambilnya dalam satu gerakan cepat lalu memberikan ekspresi ala pencuri handal. Selanjutnya, aku dan teman-temanku muncul dan mambuat mereka malu sendiri saat tahu kalu aksi mereka tadi hanya akal-akalan kami saja.
Lucu
Mengingat hal ini, membuatku rindu dengan masa-masa SMP. Biasanya saat jam istirahat seperti ini, aku, Via dan Heru masih berada di kantin, bergulat dengan sekian banyak orang demi mendapatkan makanan yang kami inginkan. Sungguh masa-masa yang sangat indah, aku benar-benar merindukan mereka!
Tringg
2 dari 3 jumlah makanan ringan yang tadi ada di pangkuanku sudah menghilang. Aku buru-buru mencarinya dan mendapati sosok Adit di dalam kelas tengah membukanya dan menatap kearahku takut-takut dan ia langsung melengos saat tau aku tengah menatapnya. Kebiasaan dia memang tidak berubah rupanya.
“ADIT!” teriakku, sambil mendekatinya dengan langkah yang di hentak-hentakkan. Sedangkan Adit sudah berlari keluar kelas dengan tetawa khasnya.
“Sabar ya Lian. Kamu kayak nggak tau sama sifat Adit aja” ucap Tio simpatik. Diikuti oelh Putra dan yang lainnya. Sedangkan aku hanya tersenyum miris memikirkan nasib makananku yang akan menjadi santap siangnya Adit.
Tak berselang lama, Adit sudah kembali masuk ke kelas dengan wajah kelelahan. Kenapa lagi dia? Habis di kejar orang lain karena mengambil makanan mereka? “Makanan aku mana?” kataku sambil mendekatkan diri padanya dalam jarak yang begitu dekat.
“Itu nggak penting. Sekarang, aku dapet tugas dari bu Kimia kita. Katanya dia nggak bisa masuk” ucapnya dengan nafas tersengal, lalu tersenyum penuh kemenangan, seakan ia adalah pembawa kabar gembira ke kelas ini.
~*~
Aku menulis catatan kimia yang disuruh oleh ibu Kimia yang aku lupa namanya siapa, sedangkan teman-temanku yang lain sibuk bermain, termasuk ketua kelas, wakilanya dan para sekertaris. Fiuh, kelas yang aneh kan.? Begitulah
Sret
Tulisanku tercoret panjang. Aku menoleh geram ke sampingku. “Udah Fah udah! Ini yang ke 3 kalinya lho kamu coret”
Ifah hanya tertawa, “Kalau nggak sanggup, pindah sana” ucapnya kejam. Padahalkan kami baru satu minggu ini sebangku, masa’ dia sudah mau mengusirku dengan cara seperti ini. Tau begini, aku lebih memilih kembali duduk bersama Juni.
“Oke, aku pindah” ucapku akhirnya, menyerah dengan keadaan ini. Aku lelah! Kalian pikir aku tidak jenuh kalau tiap hari selalu di usili seperti tadi? Kalian pikir aku tidak akan marah karena hal-hal seperti ini?! Oke mungkin ini masalah sepel, tapi kalau terus menerus dilakukan, aku jenuh juga, aku marah juga!
Aku duduk di belakang Aby dan Riska yang duduk di satu meja yang sama, hanya saja posisinya membelakangiku.
Mungkin, mungkin saja aku akan merasakan sakit yang teramat hebatnya jika melihta mereka berdua dalam jarak yang sedekat itu. Tapi aku tak melakukan apapun. Aku malah sibuk dengan catatan yang harus ku ringkas itu. Melupakan tentang Aby dan juga Riska yang ada di sampingnya.
Tiba-tiba, Tio berteriak histeris di depan, “Akhirnya. Aby kena. Hahaha”
Semua orang yang bermain permainan itu langsung menatap ke Aby dengan tatapan penuh selidik. Aku sendiri mulai tertarik dengan apa yang mereka mainkan, meski mataku masih tetap  tertuju pada buku kimia yang ada di depanku.
“Pilih pertanyaan atau tantangan?!” teriak Tio heboh, sangat heboh malah.
Ohh, rupanya mereka sedang bermain ‘pertanyaan atau tantangan’, pikirku mereka bermain permainan yang sedikit berguna, rupanya. Huh, sama sekali tak berguna! Kalau memilih pertanyaan, artinya mereka harus rela menjawab pertanyaan yang di tunjukkan pada mereka sedangkan kalau mereka memilih tantangan, mereka harus menuruti apa yang diperintahkan kepadanya. Kasihan sekali Aby harus kena dalam putaran kali ini.
“Tantangan” ucap Aby semangat, bahkan sampai tertawa-tawa tak jelas. Tio pun tertawa licik, aku sendiri hanya menatapnya curiga. Apa yang dipikirkan oleh anak ini?
Tio berjalan keluar bangkunya dan mendekati Aby yang duduk bersama Riska. “Tantangannya adalah... Nembak Lian dan pastiin kalau Lian nerima kamu!”  teriaknya, sampai-sampai orang dari kelas sebelah yang kebetulan juga tidak be;ajar mengintip dari sudut jendela.
APA-APAAN?!
“Kok aku?” tanyaku pada Tio, tak setuju dengan tindakannya. Memang sih aku menyukai Aby, tapi tidak harus begini. Dan kenapa Tio harus memilih aku? Memangnya dia tahu aku suka sama Aby? Tidak kan? TIDAK!!!
“Karena kalian cocok” ucap Gira mewakili yang lain..
Oke, terima kasih gira. Dan semoga kecocokan kami akan berlanjut hingga dewasa nanti – apa ini? – tapi aku...
Aby berdiri dengan gaya sok – memang – coolnya dan membalik badannya, ia mendekatkan tubuhnya kearahku, membuat jantungku berdegub tak karuan. Ini terlalu dekat! “Kamu terima-terima aja yah” pintanya sambil berbisik, aku hanya menatap wajahnya datar lalu mengangguk kaku.
Deg deg deg
“Oke, dengerin baik-baik. Lian, aku su–”
“ABY!!! Buku aku mana!” Dari jauh, Indah berteriak dengan kerasnya, membuat seisi kelas menatapnya sangar, termasuk aku. oh, kenapa semua anak kelas ini harus peduli dengan peristiwa ini, aku jadi malu! Its so embarrassment, ya!
Memang sih, aku benar-benar senang dengan peristiwa ini, tapi kan aku malu. ini di depan banyak orang lho, dan kenapa Aby harus teriak-teriak begitu? Memangnya dia punya perasaan yang sama denganku? semoga saja sih iya, tapi kan..
Tahu-tahu, wajah Aby sudah berada pada jarak beberapa centi di depanku, “Ini Cuma main-main, lho. Jadi terima-terima aja yah”
Aku kecewa pemirsa. KECEWA! Dia mengingatkanku kalau ini Cuma ‘Main-main’. Salahku, harusnya aku tak berharap terlalu banyak.
“Lian, aku suka kamu. Mau nggak jadi pacar aku?” Aby kembali melanjutkan kata-katanya yang tadi sempat terpotong.
Aku hanya mengangguk sambil berkata “Iya, aku juga” dan selanjutnya anak-anak kelas sudah bersorak senang. Aku memaksakan diri untuk tertawa. Di sisi lain, aku sangat ingin menangis. Harusnya aku bisa menerima kalau ini Cuma main-main. Lagi pula aku tadi sempat mengatakan kalau permainan ini tak ada gunanya. Ini sama saja dengan ‘peristiwa ini tak ada gunanya’. Memikirkannya membuatku semakin bertambah sedih.
Aby kembali duduk di bangkunya, sedangkan Riska sudah pergi entah kemana. Di sudut sana, Juni, Ifah dan yang lainnya hanya menatapku dengan senyum nakalnya dan dii tengah-tengah kelas, Gira dengan semangatnya berteriak “Inget yah temen-temen. Tanggal 5 desember, Lian sama Aby jadian!”
Aku menatap mereka nanar.
Benar, tanggal 5 desember. Aku dan Aby berpacaran.
Aku tersenyum terpaksa sambil terus memandang kesekitar, lalu menemukan sosok Ani tengah menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku jelaskan, lalu Wulan yang hanya menatapku kosong dan yang terakhir Adit, tengah memandangku dengan tatapan selamat-yah.
Pemandangan ini membuatku sedih.
Tuhan, tolong ingatkan aku kalau ini hanya sebuah permainan. Ini tak lebih dari fake confession.

 Mohon di maafkan karena banyaknya kesalahan kata, cerita yang ngawur dan hal-hal tak menyenangkan halinnya. terima kasih sudah membaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar