Minggu, 18 Januari 2015

Bukan Cerpen tapi Diary




Bukan Cerpen tapi Diary
-Ini adalah untaian cerita massa SMA-ku-
By: Berliana Syafitri
Series
Aku Liana Safira dengan semua cerita tentang masa SMA-ku^^


 #4

Happy Aquarius
Beberapa hari setelah tragedi ‘Saingan Cinta 1’, terjadi sesuatu yang tak terduga, dan sesuatu yang tak terduga itu adalah sebuah keajaiban.
Dimulai pada hari Jum’at.
Seperti biasa aku berangkat sekolah, tapi ada yang berbeda dengan yang biasanya, kali ini aku berangkat sekolah dengan ‘normal’. Agak aneh sih, tapi yah mau bagaimana lagi, kejadian 2 hari yang lalu memaksaku untuk menjadi sosok yang lain, sosok yang aneh –menurutku, lho ya- , sosok yang – entahlah aku tak tau, aku terlalu lelah untuk berfikir.
Aku sampai di teras depan kelasku dan menatap pintu kelas yang masih tertutup rapat. Lalu beberapa pasang mata menatap kearahku, “Ada apa?”
“Mana kunci kelas? Sama kamu kan?” tanya salah satu dari mereka.
Aku mengernyitkan dahi, “Rasanya gak ada sama aku deh”
Mereka pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan aku hanya berdiri di depan pintu kelas dengan tatapan kosong, berfikir sebentar, lalu berbalik bahagia. “Kalo kunci kelasnya ilang, berarti kita gak belajar dong. Yeay!!”
Aku melompat riang tepat saat Wulan datang –astaga!
“Kenapa?” tanya Adit yang entah muncul dari mana, ia pun melihat kelas yang masih terkuci dan mencoba untuk mendobraknya.
Brak, brak, brak.
Kelas tetap tak terbuka.
Tak lama setelah itu, Aby datang dengan membawa kunci dan di sambut dengan helaan nafas semua orang, kecuali aku, “Ah, gak jadi gak belajarnya”.
“Kertas latihan yang kemarin mana?” tanya Aby membuat kami melihatnya, namun ekspresi itu tak bertahan lama, siswa lainnya – selain aku – pergi meninggalkan Aby tanpa perasaan simpati sedikit pun, kejam. “ADIT!! Kertas latihan yang kemarin mana?!” teriak Aby.
Adit yang merasa terpanggil buru-buru menghampiri kami, “Kertas ap..., AHH!!” teriaknya membuat aku dan Aby mengernyit. Adit langsung berkeliling kelas mencari kertas latihan kami yang hilang. Sedangkan aku hanya menatap Aby penuh pertanyaan.
“Kertas yang latihan Bahasa Inggris itu ya By?” tanyaku, sok tau. Ia mengangguk panik. “Rasanya ada di laci meja aku deh”
“Serius?” tanya Adit dan Aby bersamaan. Mereka langsung saling pandang, sedangkan aku langsung menuju mejaku, sedikit menundukkan badan dan melihat ke laci meja. Tahu-tahu sebuah kepala muncul di depan wajahku, aku buru-buru bangkit dan melihat kepala siapa yang ada di depanku tadi. Itu Adit! Kyaa!!
Aku mundur beberapa langkah dan parahnya aku malah menginjak sepatu Aby, dia hanya berdehem.
“Ketemu!!” teriak Adit. Iya, kamu menemukan hatiku yang berdebar, eh.
Aby langsung menghela nafas bahagia.
~*~
“Oke, jadi kita mulai rapat kelas kita hari ini” Adit membuka rapat kelas hari ini, sedangkan Aby duduk dibangkunya sambil berdiskusi dengan Ani tentang uang khas dan pengeluarannua, tapi tak mungkin harus selama itu kan? Pastilah mereka membicarakan hal lain yang entah itu masalah apa – dan aku ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan itu.
“Hallo! HALLO!!” Adit berteriak minta di perhatikan, namun tak satupun dari kami memperhatikan dia, bahkan aku pun tidak. Dia pun berderap kembali ke bangkunya dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Aby yang melihat itu akhirnya maju ke depan kelas, meninggalkan Ani yang raut wajahnya terlihat kecewa.
“Perhatiannya teman-teman!” Aby mulai berbicara, dan para siswa memperhatikannya, haha. Aku melihat Adit yang pergi meninggalkan kelas, tak lupa dengan langkah yang sengaja di hentak-hentakkannya, aku mencoba menahan tawa.
“Jadi disini kita membahas masalah menjenguk teman kita yang lagi sakit, Gito. Sebelumnya, karena jumlah uang khas kita yang kian lama kian menipis, jadi, kita harus pupuan sebesar Rp.2000. Gimana setuju gak?” Aby berbicara seakan berpidato atau, atau seperti guru-guru yang memberikan amanat saat upacara dan itu membosankan.
Anak-anak kelas setuju. Aku mengangkat tanganku, “Yang ikut jenguk siapa aja?”
“Perangkat kelas, ketua kekeluargaan sama 3 sukarelawan. Kamu harus ikut” jawabnya, aku mengangguk, diikuti para siswa lainnya.
Rapat pun ditutup.
Saatnya menjenguk Gito!
Aku, Ani, Nindy, dan Riska duduk termenung di depan taman kota, kalau dilihat-lihat, aku teman-temanku ini tampak seperti anak hilang yang sedang menunggu kehadiran kedua orang tuanya, haha.
Sekian menit berlalu dan aku hanya melamut gak jelas.
“Ada yang salah? Apa kamu marah?” tanya Ani dan aku hanya menggeleng.
Adit, Aby, Putra, dan Fitrah datang dengan membawa sekantung buah-buahan, roti dan susu. Kami pun bersiap pergi.
Ani mendekatiku dan berbisik, “Lian, aku pengen dibonceng Aby”
Jantungku kembali berdenyut.
Bukan cuma kamu, tapi aku juga! Aku junga ingin di bonceng sama Aby, aku jauh lebih menginginkan hal itu, jauh menginginkan lebih banyak. Keinginanku untuk bisa di bonceng dengan Aby jauh lebih banyak dari pada keinginanaku untuk di bonceng Adit, jauh!
Karena kebetulan motornya cukup untuk kami semua, jadi, para wanitanya di bonceng oleh para pria, tinggal menunggu siapa yang akan menjadi patner kita kali ini.
“Nindy biar sama aku, Riska sama Fitrah, terus,,,” kata Adit membuat kami semua menoleh. Oke, tinggal aku sama Ani yang belum mendapat pasangan. Aku menatap Ani yang sedang menatap Adit penuh harap – dan harapannya sudah jelas yaitu dapat di bonceng oleh Aby.
“Ani biar sama aku, sisanya berdua” Putrah menyambung perkatan Adit – thanks Putra. Semuanya pun naik ke motor yang telah ditentukan, hanya aku dan Ani yang masih berdiri termagu.
“Ayo naik” ajak Aby padaku. Ia pun menarik tanganku untuk segera menaiki motor, akhirnya, aku menaiki motor. Sedangkat di belakang sana, aku dapat merasakan tatapan cemburu dari Ani, dan aku tak berani menoleh kebelakang. Kami pun berangkat.
Dalam hatiku, aku bahagia karena bisa di bonceng oleh Aby, orang yang aku suka. Namun sayangnya, aku tak bisa mengekspresikan perasaan bahagia itu. Kenapa? Di belakang kami, ada Putra dan Ani, Adit dan Nindy, serta Fitrah dan Riska. Jadi intinya, aku dan Aby ada di posisi terdepan.
Aby mengendarai motornya dengan santai – dan itu benar-benar membuatku nyaman!. Dan setelah aku berfikir  seperti itu, Aby mempercepat laju motornya. Aku berdehem.
“Sori, tadi ada polisidan aku lupa bawak helm, jadi karena keburu udah lewat jalan itu, aku ngebut deh. Sori” katanya. Astaga, no problem By, no problem.
“Oh iya By, kita udah ninggalin mereka jauh banget, lho. Lagian, emangnya kamu tau di mana rumah Gito?” tanyaku padanya, mencoba membuka percakapan diantara deruman motor dan angin yang menerpah tubuh kami.
“Tau dong, dulu waktu SD kami sekelas”
Ohh, rupanya dia pernah berada di kelas yang sama dengan Gito. Berarti, jernih sekali ingatannya hingga mampu mengingat rumah teman SD nya. Aku saja tak dapat mengingat rumah teman-teman SD ku. Walaupun ingat, aku hanya mengingat yang rumahnya dekat dengan rumahku saja, karena ini adalah salah satu dari dampak negatif penyakitku, lupa-ingatan-sementara.
Diam sampai beberapa menit, tak ada lagi percakapan, sunyi. Jujur saja, aku belum pernah berada pada jarak yang sedekat ini dengan Aby, selama ini hanya hanya bisa memandangnya, baik wajah maupun punggungnya – walaupun keseringan punggungnya sih. Dan lihat sekarang, aku tepat berada beberapa senti darinya. Aku bisa dengan puas menatap punggungnya itu, aku dapat melihat rambutnya yang bergerak kesana-kemari dengan bebas, dan aku dapat mencium harum parfum khasnya dalam jarak yang dekat.
Aku ingin moment seperti berjalan lama, aku ingin waktu berhenti, walau aku dan Aby hanya diam tak berbicara apapun, dengan begini saja aku sudah cukup bahagia, aku ingin mengenang moment indah ini di dalam hatiku dan di dalam fikiranku.
“Hmm, Aby” Aku memanggilnya “Tugas Ekonomi yang kemarin udah selesai?”
“Yang mana ya? Aku gak tau?”
“Oh gitu”
“Hehe, sori. Aku gak bakal tau ada PR atau nggak kalo nggak liat Buku atau nanya sama orang. Haha” jawabnya sembari tertawa, dan entah karena apa aku ikut tertawa juga.
Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah Gito.
Astaga! Kenapa waktu berputar cepat sekali?! Aku masih belum puas! Sama sekali belum puas! Aku masih ingim berlama-lama berada di dekat Aby. Kesempatan seperti ini tidak akan datang setiap hari dan mungkin saja ini akan menjadi yang pertama dan terakhir.
“Ehem” Aby berdehem, “Lian”
“Eh”, aku buru-buru turun dari motor dan bergabung dengan para perempuan yang sudah memasuki rumah Gito, sesekali aku menoleh kebelakang, melihat sosok Aby yang tengah kerennya mengobrol dengan Putra, di sampingnya ada Adit yang hanya duduk diam di motornya tak lupa dengan wajah khasnya yang amat keren itu. Sosok makhluk keren ciptaan tuhan.
Aku dan teman-temanku duduk dengan sopannya di salah satu sofa rumah Gito. Para anak laki-laki dan Riska tengah melihat keadaan Gito yang ada di dalam kamarnya sedangkan aku, Ani dan Nindy hanya duduk di ruang tamu tak melakukan apapun.
Aku hendak menyusul ke kamar Gito namun langkahku terhenti saat ada tanda SMS masuk ke Handphoneku.
Dari: Ani
Cie yang di bonceng sama Aby
Aku terperanjat lalu segera menatap Ani – ini pertama kalinya sejak aku di bonceng oleh Aby - kami melakukan kontak mata. Aku pun berderap mendekati Ani. “Maaf Ani, tadi Putra yang nyuruh, aku juga nggak mau kok” dustaku padanya dan berusaha menunjukkan ekspresi sedih. Oke aku sangat jahat, aku bahkan membohongi diriku sendiri, aku benar-benar memalukan.
Ani tersenyum pahit, aku pun kembali melanjutkan perjalananku ke kamar Gito, dan kali ini aku berhenti lagi karena para lelaki dan Riska sudah dalam perlajanan kemabli keruang tamu. Sial.
Aku kembali duduk di sofa dan kebetulan aku duduk di dekat Aby, teman-temanku pun mulai usil.
“Cie, yang tadi boncengan kayaknya gak bisa pisah deh” ucap Putra – terima kasih lagi Putra. Yang lain pun ikut mengangguk.
“Iya nih, udah mau deket-deket mulu, jadi iri nih” Fitrah mengikuti Putra, astaga mereka benar-benar mau menggodaku ya? Tapi entah kenapa, semakin di goda seperti itu, hatiku terasa semakin senang, bukan karena godaannya tapi karena ada yang bisa mengingat moment antara aku dan Aby tadi.
“Jadi jealous nih, haha” ucap Nindy sambil tersenyum genit. Kami semua pun tertawa, kecuali Ani yang hanya tersenyum pahit.
Waktunya pulang!
“Aku mau dateng ke acara ulang tahun si Tika. Mau ikut nggak?” kata Adit. Dan ia hendak menawari kami untuk datang diacara ulang tahun pacaranya yang cantik itu. Kalau jawabku sih tidak, siapa juga yang mau datang  ke acara ulang tahun pacar orang yang kita suka kecuali dia nekat, yang ada, disana aku bakal patah hati!
“Kita berdua ikut ya” kata Putra dan Fitrah dan langsung disambut dengan agukan dari Adit, ia pun menatap Aby. Begitu pula aku,.
“Aku enggak deh. Dirumah adik aku sendirian, jadi aku harus nemenin dia. Maaf ya Dit, kasih salam aja sama si Tika” ucapnya akhirnya lalu menaiki motornya, “Ada yang mau bareng gak?”
Ani tampak tertarik – dan itu membuatku ikut-ikutan tertarik, ah aku benar-benar kejam! – namun Nindy langsung menarik tangan Ani, memintanya untuk menemaninya membeli beberapa alat khusus sekertaris dan alat kelas. Riska pun menelpon ayahnya untuk meminta jemputan sedangkan aku tak tau mau kemana, akhirnya kuputuskan untuk pulang.
“Gak mau dianter?” tanya Aby manis.
“Gak usah, terima kasih. Aku naik Bis aja”
Kami pun berpisah.
Aku pulang kerumah dan melakukan hal-hal yang sewajarnya aku lakukan, seperti misalnya; mandi, makan, belajar. Lalu setelah suntuk belajar, aku membuka handphoneku, sekedar berkunjung ke akun twitterku yang sudah hampir 24 jam tak aku buka.
Iseng-iseng, aku membuka akun ramalan.
#Aquarius : Hari ini adalah milikmu, Happy Aquarius.
Benar, hari ini adalah milikku. Happy Aquarius!
~*~
Jam menunjukkan pukul 10.45: Hari Senin-Pelajaran Bahasa Indonesia.
Aku menulis sesuatu – yang aku sendiri apa hal yang kutulis itu – di buku tulisku, sedangkan para siswa lainnya tengah disuruh membaca bergilir oleh bu Winti.
“Absen nomor 16” ucap bu Winti mengagetkanku. Absen nomor 16 itu aku! Kenapa aku di panggil?
“Kenapa bu?”
Bu Winti menatapku ganas, “Pake nanya lagi, ya terusin dong bacaan teman kamu tadi”
Aku bengong, tak tau mau melakukan apa. Juni menyenggol lenganku. “Sampe di kalimat ‘Tak hanya itu’ di paragraf ke 3” ucapnya dan akhirnya aku membaca juga.
Setelah selesai bagianku, aku kembali melamun.
Kenapa tak ada yang menganggap kejadian kemarin nyata?! Mereka hanya menganggapnya angin lalu saja kah? Padahal kejadian kemarin itu benar-benar berkesan, benar-benar nyata! Tapi, apa hanya aku yang merasakannya? Apakah Aby tak merasakan perasaan seperti ini juga? Apa ini benar-benar perasaan sepihak? Setelah semua yang terjadi, setelah semua kata-kata dan tindakan manisnya kemarin, apakah ini hanya perasaan sepihak? Oh astaga! Betapa sedihnya aku, ini semua hanya perasaan sepihak rupanya. Betapa bodohnya aku menyatakan kalau ini adalah perasaan dari kedua belah pihak.
Aku menatap wajah Aby yang ada di bangku seberang dan kebetulan, sekarang adalah gilirannya membaca, giliran si Faby nomor absen 8 itu!
Kalau dilihat dari ekspresi wajahnya yang tampak baisa itu, sepertinya, dia memang tak menganggap serius kejadian kemarin. Mungkin, mungkin saja, ia memang tidak menganggap kejadian-kejadian seperti itu cukup spesial. Mungkin saja di matanya, hal seperti itu hanya angin lalu dan mungkin saja ia bersikap manis seperti itu kesemua orang. Mungkin saja.
Tiba-tiba aby menoleh kearahku – astaga aku ketahuan sedang memandangnya dengan pandangan penuh cinta!. Aku buru-buru mengalihkan pandangku ke luar jendela dan di luar sana aku melihat seseorang yang tengah berjalan di depan teras kelasku. Orang itu terlihat tegas dan tegap, tubuhnya tinggi dan kulitnya sawo matang. Aku memandangnya cukup lama hingga tubuhnya menghilang.
“Semua siap! Beri salam!”
Aku buru-buru berdiri dan mengucapkan salam, mengikuti apa yang anggota kelasku yang lain lakukan, seperti biasanyalah. Aku kembali duduk di bangkuku, bernyanyi dalam diam hingga tak satupun orang di kelas ini dapat mendengarnya.
“Ehem” seseorang berdehem entah karena apa. Aku mengangkat wajahku, lalu buru-buru berdiri, benar, itu Aby. Itu ABY!
“A-anu,,, ke-kenapa?” tanyaku tergagap, mulut bodoh, kenapa harus tergagap disaat seperti ini? Ini menunjukkan sekali kalau aku menyukai dia.
“Pinjem catatan Fisika kamu dong” ucapnya tampak tak curuga. Syukurlah.
Aku mengeluarkan catatan Fisika milikku dan memberikannya padanya, tak sengaja jari jemari kami bersentuhan, membuatku terasa seperti di sengat listrik, listrik yang penuh dengan energi positif.
“Ciyeee!!” teriak anak-anak satu kelas.
“Beda ni yang kemarin abis boncengan di motor, ciye” ucap Putra membuat beberapa anak kelas kami yang kemarin nggak ikut penasaran dan bertanya ke Putra.
Oke, Thanks Putra karena membuat aku merasa bersemangat dengan kata ‘Ciye’ yang amat sederhana itu.
Pipi Aby bersemu merah, tak hanya dia, aku juga! Dan dengan terburu-buru ia mengambil buku itu dan pergi keluar kelas. Aku sendiri masih berdiri dalam posisi  yang sama, anak-anak kelas hanya menatapku bingung lalu mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Putra mendekatiku, “Posisinya jangan kek gitu dong. Ketahuan banget kalo kamu banyak berharap sama Aby”
Aku tersadar lalu buru-buru duduk, Putra pun berlalu pergi. Juni yang ada di sebelahku – dan tak tahu apa-apa tentang kejadia kemarin – menatapku dengan tatapan bertanya, simpati atau entahlah apa itu, aku tak terlalu peduli. “Kamu sama Aby pacaran yah?”
“Enggak!” sergahku tanpa berfikir, aku dapat melihat perubahan raut wajah Juni yang sekarang berubah agak takut. “Sori, enggak. Kemarin aku sama dia Cuma boncengan pas pergi ke rumah Gito”
Juni mangut-mangut lalu kembali sibuk dengan urusannya. Aku hendak pergi keluar kelas namun suara Juni menghentikanku. “Kalau kamu suka sama dia, jangan setengah-setengah”
Aku menatapnya dan ia menatapku balik, lalu Juni tersenyum penuh arti.
Ingat itu Lian, jangan setengah-setengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar