Bukan
Cerpen tapi Diary
-Ini
adalah untaian cerita massa SMA-ku-
By: Berliana Syafitri
Series
Aku Liana Safira
dengan semua cerita tentang masa SMA-ku^^
#4
Happy
Aquarius
Beberapa
hari setelah tragedi ‘Saingan Cinta 1’, terjadi sesuatu yang tak terduga, dan
sesuatu yang tak terduga itu adalah sebuah keajaiban.
Dimulai
pada hari Jum’at.
Seperti
biasa aku berangkat sekolah, tapi ada yang berbeda dengan yang biasanya, kali
ini aku berangkat sekolah dengan ‘normal’. Agak aneh sih, tapi yah mau bagaimana
lagi, kejadian 2 hari yang lalu memaksaku untuk menjadi sosok yang lain, sosok
yang aneh –menurutku, lho ya- , sosok yang – entahlah aku tak tau, aku terlalu
lelah untuk berfikir.
Aku
sampai di teras depan kelasku dan menatap pintu kelas yang masih tertutup
rapat. Lalu beberapa pasang mata menatap kearahku, “Ada apa?”
“Mana
kunci kelas? Sama kamu kan?” tanya salah satu dari mereka.
Aku
mengernyitkan dahi, “Rasanya gak ada sama aku deh”
Mereka
pun kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan aku hanya berdiri di
depan pintu kelas dengan tatapan kosong, berfikir sebentar, lalu berbalik
bahagia. “Kalo kunci kelasnya ilang, berarti kita gak belajar dong. Yeay!!”
Aku
melompat riang tepat saat Wulan datang –astaga!
“Kenapa?”
tanya Adit yang entah muncul dari mana, ia pun melihat kelas yang masih terkuci
dan mencoba untuk mendobraknya.
Brak,
brak, brak.
Kelas
tetap tak terbuka.
Tak lama
setelah itu, Aby datang dengan membawa kunci dan di sambut dengan helaan nafas
semua orang, kecuali aku, “Ah, gak jadi gak belajarnya”.
“Kertas
latihan yang kemarin mana?” tanya Aby membuat kami melihatnya, namun ekspresi
itu tak bertahan lama, siswa lainnya – selain aku – pergi meninggalkan Aby
tanpa perasaan simpati sedikit pun, kejam. “ADIT!! Kertas latihan yang kemarin
mana?!” teriak Aby.
Adit
yang merasa terpanggil buru-buru menghampiri kami, “Kertas ap..., AHH!!”
teriaknya membuat aku dan Aby mengernyit. Adit langsung berkeliling kelas
mencari kertas latihan kami yang hilang. Sedangkan aku hanya menatap Aby penuh
pertanyaan.
“Kertas
yang latihan Bahasa Inggris itu ya By?” tanyaku, sok tau. Ia mengangguk panik.
“Rasanya ada di laci meja aku deh”
“Serius?”
tanya Adit dan Aby bersamaan. Mereka langsung saling pandang, sedangkan aku
langsung menuju mejaku, sedikit menundukkan badan dan melihat ke laci meja.
Tahu-tahu sebuah kepala muncul di depan wajahku, aku buru-buru bangkit dan
melihat kepala siapa yang ada di depanku tadi. Itu Adit! Kyaa!!
Aku
mundur beberapa langkah dan parahnya aku malah menginjak sepatu Aby, dia hanya
berdehem.
“Ketemu!!”
teriak Adit. Iya, kamu menemukan hatiku yang berdebar, eh.
Aby
langsung menghela nafas bahagia.
~*~
“Oke,
jadi kita mulai rapat kelas kita hari ini” Adit membuka rapat kelas hari ini,
sedangkan Aby duduk dibangkunya sambil berdiskusi dengan Ani tentang uang khas
dan pengeluarannua, tapi tak mungkin harus selama itu kan? Pastilah mereka
membicarakan hal lain yang entah itu masalah apa – dan aku ingin tahu apa saja
yang mereka bicarakan itu.
“Hallo!
HALLO!!” Adit berteriak minta di perhatikan, namun tak satupun dari kami
memperhatikan dia, bahkan aku pun tidak. Dia pun berderap kembali ke bangkunya
dengan langkah yang dihentak-hentakkan. Aby yang melihat itu akhirnya maju ke
depan kelas, meninggalkan Ani yang raut wajahnya terlihat kecewa.
“Perhatiannya
teman-teman!” Aby mulai berbicara, dan para siswa memperhatikannya, haha. Aku
melihat Adit yang pergi meninggalkan kelas, tak lupa dengan langkah yang
sengaja di hentak-hentakkannya, aku mencoba menahan tawa.
“Jadi
disini kita membahas masalah menjenguk teman kita yang lagi sakit, Gito.
Sebelumnya, karena jumlah uang khas kita yang kian lama kian menipis, jadi,
kita harus pupuan sebesar Rp.2000. Gimana setuju gak?” Aby berbicara seakan
berpidato atau, atau seperti guru-guru yang memberikan amanat saat upacara dan
itu membosankan.
Anak-anak
kelas setuju. Aku mengangkat tanganku, “Yang ikut jenguk siapa aja?”
“Perangkat
kelas, ketua kekeluargaan sama 3 sukarelawan. Kamu harus ikut” jawabnya, aku
mengangguk, diikuti para siswa lainnya.
Rapat
pun ditutup.
Saatnya
menjenguk Gito!
Aku,
Ani, Nindy, dan Riska duduk termenung di depan taman kota, kalau dilihat-lihat,
aku teman-temanku ini tampak seperti anak hilang yang sedang menunggu kehadiran
kedua orang tuanya, haha.
Sekian
menit berlalu dan aku hanya melamut gak jelas.
“Ada
yang salah? Apa kamu marah?” tanya Ani dan aku hanya menggeleng.
Adit,
Aby, Putra, dan Fitrah datang dengan membawa sekantung buah-buahan, roti dan
susu. Kami pun bersiap pergi.
Ani
mendekatiku dan berbisik, “Lian, aku pengen dibonceng Aby”
Jantungku
kembali berdenyut.
Bukan
cuma kamu, tapi aku juga! Aku junga ingin di bonceng sama Aby, aku jauh lebih
menginginkan hal itu, jauh menginginkan lebih banyak. Keinginanku untuk bisa di
bonceng dengan Aby jauh lebih banyak dari pada keinginanaku untuk di bonceng
Adit, jauh!
Karena
kebetulan motornya cukup untuk kami semua, jadi, para wanitanya di bonceng oleh
para pria, tinggal menunggu siapa yang akan menjadi patner kita kali ini.
“Nindy
biar sama aku, Riska sama Fitrah, terus,,,” kata Adit membuat kami semua
menoleh. Oke, tinggal aku sama Ani yang belum mendapat pasangan. Aku menatap
Ani yang sedang menatap Adit penuh harap – dan harapannya sudah jelas yaitu
dapat di bonceng oleh Aby.
“Ani
biar sama aku, sisanya berdua” Putrah menyambung perkatan Adit – thanks Putra.
Semuanya pun naik ke motor yang telah ditentukan, hanya aku dan Ani yang masih
berdiri termagu.
“Ayo
naik” ajak Aby padaku. Ia pun menarik tanganku untuk segera menaiki motor,
akhirnya, aku menaiki motor. Sedangkat di belakang sana, aku dapat merasakan
tatapan cemburu dari Ani, dan aku tak berani menoleh kebelakang. Kami pun
berangkat.
Dalam
hatiku, aku bahagia karena bisa di bonceng oleh Aby, orang yang aku suka. Namun
sayangnya, aku tak bisa mengekspresikan perasaan bahagia itu. Kenapa? Di
belakang kami, ada Putra dan Ani, Adit dan Nindy, serta Fitrah dan Riska. Jadi
intinya, aku dan Aby ada di posisi terdepan.
Aby
mengendarai motornya dengan santai – dan itu benar-benar membuatku nyaman!. Dan
setelah aku berfikir seperti itu, Aby
mempercepat laju motornya. Aku berdehem.
“Sori,
tadi ada polisidan aku lupa bawak helm, jadi karena keburu udah lewat jalan
itu, aku ngebut deh. Sori” katanya. Astaga, no problem By, no problem.
“Oh iya
By, kita udah ninggalin mereka jauh banget, lho. Lagian, emangnya kamu tau di
mana rumah Gito?” tanyaku padanya, mencoba membuka percakapan diantara deruman
motor dan angin yang menerpah tubuh kami.
“Tau
dong, dulu waktu SD kami sekelas”
Ohh,
rupanya dia pernah berada di kelas yang sama dengan Gito. Berarti, jernih
sekali ingatannya hingga mampu mengingat rumah teman SD nya. Aku saja tak dapat
mengingat rumah teman-teman SD ku. Walaupun ingat, aku hanya mengingat yang
rumahnya dekat dengan rumahku saja, karena ini adalah salah satu dari dampak
negatif penyakitku, lupa-ingatan-sementara.
Diam
sampai beberapa menit, tak ada lagi percakapan, sunyi. Jujur saja, aku belum
pernah berada pada jarak yang sedekat ini dengan Aby, selama ini hanya hanya
bisa memandangnya, baik wajah maupun punggungnya – walaupun keseringan
punggungnya sih. Dan lihat sekarang, aku tepat berada beberapa senti darinya.
Aku bisa dengan puas menatap punggungnya itu, aku dapat melihat rambutnya yang
bergerak kesana-kemari dengan bebas, dan aku dapat mencium harum parfum khasnya
dalam jarak yang dekat.
Aku
ingin moment seperti berjalan lama, aku ingin waktu berhenti, walau aku dan Aby
hanya diam tak berbicara apapun, dengan begini saja aku sudah cukup bahagia, aku
ingin mengenang moment indah ini di dalam hatiku dan di dalam fikiranku.
“Hmm,
Aby” Aku memanggilnya “Tugas Ekonomi yang kemarin udah selesai?”
“Yang
mana ya? Aku gak tau?”
“Oh
gitu”
“Hehe,
sori. Aku gak bakal tau ada PR atau nggak kalo nggak liat Buku atau nanya sama
orang. Haha” jawabnya sembari tertawa, dan entah karena apa aku ikut tertawa
juga.
Tak
terasa kami sudah sampai di depan rumah Gito.
Astaga!
Kenapa waktu berputar cepat sekali?! Aku masih belum puas! Sama sekali belum
puas! Aku masih ingim berlama-lama berada di dekat Aby. Kesempatan seperti ini
tidak akan datang setiap hari dan mungkin saja ini akan menjadi yang pertama
dan terakhir.
“Ehem”
Aby berdehem, “Lian”
“Eh”,
aku buru-buru turun dari motor dan bergabung dengan para perempuan yang sudah
memasuki rumah Gito, sesekali aku menoleh kebelakang, melihat sosok Aby yang
tengah kerennya mengobrol dengan Putra, di sampingnya ada Adit yang hanya duduk
diam di motornya tak lupa dengan wajah khasnya yang amat keren itu. Sosok
makhluk keren ciptaan tuhan.
Aku dan
teman-temanku duduk dengan sopannya di salah satu sofa rumah Gito. Para anak
laki-laki dan Riska tengah melihat keadaan Gito yang ada di dalam kamarnya
sedangkan aku, Ani dan Nindy hanya duduk di ruang tamu tak melakukan apapun.
Aku hendak
menyusul ke kamar Gito namun langkahku terhenti saat ada tanda SMS masuk ke
Handphoneku.
Dari:
Ani
Cie yang
di bonceng sama Aby
Aku
terperanjat lalu segera menatap Ani – ini pertama kalinya sejak aku di bonceng
oleh Aby - kami melakukan kontak mata. Aku pun berderap mendekati Ani. “Maaf
Ani, tadi Putra yang nyuruh, aku juga nggak mau kok” dustaku padanya dan
berusaha menunjukkan ekspresi sedih. Oke aku sangat jahat, aku bahkan
membohongi diriku sendiri, aku benar-benar memalukan.
Ani
tersenyum pahit, aku pun kembali melanjutkan perjalananku ke kamar Gito, dan
kali ini aku berhenti lagi karena para lelaki dan Riska sudah dalam perlajanan
kemabli keruang tamu. Sial.
Aku
kembali duduk di sofa dan kebetulan aku duduk di dekat Aby, teman-temanku pun
mulai usil.
“Cie,
yang tadi boncengan kayaknya gak bisa pisah deh” ucap Putra – terima kasih lagi
Putra. Yang lain pun ikut mengangguk.
“Iya
nih, udah mau deket-deket mulu, jadi iri nih” Fitrah mengikuti Putra, astaga
mereka benar-benar mau menggodaku ya? Tapi entah kenapa, semakin di goda
seperti itu, hatiku terasa semakin senang, bukan karena godaannya tapi karena
ada yang bisa mengingat moment antara aku dan Aby tadi.
“Jadi
jealous nih, haha” ucap Nindy sambil tersenyum genit. Kami semua pun tertawa,
kecuali Ani yang hanya tersenyum pahit.
Waktunya
pulang!
“Aku mau
dateng ke acara ulang tahun si Tika. Mau ikut nggak?” kata Adit. Dan ia hendak
menawari kami untuk datang diacara ulang tahun pacaranya yang cantik itu. Kalau
jawabku sih tidak, siapa juga yang mau datang
ke acara ulang tahun pacar orang yang kita suka kecuali dia nekat, yang
ada, disana aku bakal patah hati!
“Kita
berdua ikut ya” kata Putra dan Fitrah dan langsung disambut dengan agukan dari
Adit, ia pun menatap Aby. Begitu pula aku,.
“Aku
enggak deh. Dirumah adik aku sendirian, jadi aku harus nemenin dia. Maaf ya
Dit, kasih salam aja sama si Tika” ucapnya akhirnya lalu menaiki motornya, “Ada
yang mau bareng gak?”
Ani
tampak tertarik – dan itu membuatku ikut-ikutan tertarik, ah aku benar-benar
kejam! – namun Nindy langsung menarik tangan Ani, memintanya untuk menemaninya
membeli beberapa alat khusus sekertaris dan alat kelas. Riska pun menelpon
ayahnya untuk meminta jemputan sedangkan aku tak tau mau kemana, akhirnya
kuputuskan untuk pulang.
“Gak mau
dianter?” tanya Aby manis.
“Gak
usah, terima kasih. Aku naik Bis aja”
Kami pun
berpisah.
Aku pulang
kerumah dan melakukan hal-hal yang sewajarnya aku lakukan, seperti misalnya;
mandi, makan, belajar. Lalu setelah suntuk belajar, aku membuka handphoneku,
sekedar berkunjung ke akun twitterku yang sudah hampir 24 jam tak aku buka.
Iseng-iseng,
aku membuka akun ramalan.
#Aquarius
: Hari ini adalah milikmu, Happy Aquarius.
Benar,
hari ini adalah milikku. Happy Aquarius!
~*~
Jam menunjukkan
pukul 10.45: Hari Senin-Pelajaran Bahasa Indonesia.
Aku
menulis sesuatu – yang aku sendiri apa hal yang kutulis itu – di buku tulisku,
sedangkan para siswa lainnya tengah disuruh membaca bergilir oleh bu Winti.
“Absen
nomor 16” ucap bu Winti mengagetkanku. Absen nomor 16 itu aku! Kenapa aku di
panggil?
“Kenapa
bu?”
Bu Winti
menatapku ganas, “Pake nanya lagi, ya terusin dong bacaan teman kamu tadi”
Aku bengong,
tak tau mau melakukan apa. Juni menyenggol lenganku. “Sampe di kalimat ‘Tak
hanya itu’ di paragraf ke 3” ucapnya dan akhirnya aku membaca juga.
Setelah
selesai bagianku, aku kembali melamun.
Kenapa
tak ada yang menganggap kejadian kemarin nyata?! Mereka hanya menganggapnya
angin lalu saja kah? Padahal kejadian kemarin itu benar-benar berkesan,
benar-benar nyata! Tapi, apa hanya aku yang merasakannya? Apakah Aby tak
merasakan perasaan seperti ini juga? Apa ini benar-benar perasaan sepihak?
Setelah semua yang terjadi, setelah semua kata-kata dan tindakan manisnya
kemarin, apakah ini hanya perasaan sepihak? Oh astaga! Betapa sedihnya aku, ini
semua hanya perasaan sepihak rupanya. Betapa bodohnya aku menyatakan kalau ini
adalah perasaan dari kedua belah pihak.
Aku
menatap wajah Aby yang ada di bangku seberang dan kebetulan, sekarang adalah
gilirannya membaca, giliran si Faby nomor absen 8 itu!
Kalau
dilihat dari ekspresi wajahnya yang tampak baisa itu, sepertinya, dia memang
tak menganggap serius kejadian kemarin. Mungkin, mungkin saja, ia memang tidak
menganggap kejadian-kejadian seperti itu cukup spesial. Mungkin saja di
matanya, hal seperti itu hanya angin lalu dan mungkin saja ia bersikap manis
seperti itu kesemua orang. Mungkin saja.
Tiba-tiba
aby menoleh kearahku – astaga aku ketahuan sedang memandangnya dengan pandangan
penuh cinta!. Aku buru-buru mengalihkan pandangku ke luar jendela dan di luar
sana aku melihat seseorang yang tengah berjalan di depan teras kelasku. Orang
itu terlihat tegas dan tegap, tubuhnya tinggi dan kulitnya sawo matang. Aku
memandangnya cukup lama hingga tubuhnya menghilang.
“Semua
siap! Beri salam!”
Aku
buru-buru berdiri dan mengucapkan salam, mengikuti apa yang anggota kelasku
yang lain lakukan, seperti biasanyalah. Aku kembali duduk di bangkuku,
bernyanyi dalam diam hingga tak satupun orang di kelas ini dapat mendengarnya.
“Ehem”
seseorang berdehem entah karena apa. Aku mengangkat wajahku, lalu buru-buru
berdiri, benar, itu Aby. Itu ABY!
“A-anu,,,
ke-kenapa?” tanyaku tergagap, mulut bodoh, kenapa harus tergagap disaat seperti
ini? Ini menunjukkan sekali kalau aku menyukai dia.
“Pinjem
catatan Fisika kamu dong” ucapnya tampak tak curuga. Syukurlah.
Aku
mengeluarkan catatan Fisika milikku dan memberikannya padanya, tak sengaja jari
jemari kami bersentuhan, membuatku terasa seperti di sengat listrik, listrik
yang penuh dengan energi positif.
“Ciyeee!!”
teriak anak-anak satu kelas.
“Beda ni
yang kemarin abis boncengan di motor, ciye” ucap Putra membuat beberapa anak
kelas kami yang kemarin nggak ikut penasaran dan bertanya ke Putra.
Oke,
Thanks Putra karena membuat aku merasa bersemangat dengan kata ‘Ciye’ yang amat
sederhana itu.
Pipi Aby
bersemu merah, tak hanya dia, aku juga! Dan dengan terburu-buru ia mengambil buku
itu dan pergi keluar kelas. Aku sendiri masih berdiri dalam posisi yang sama, anak-anak kelas hanya menatapku
bingung lalu mulai sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Putra
mendekatiku, “Posisinya jangan kek gitu dong. Ketahuan banget kalo kamu banyak
berharap sama Aby”
Aku
tersadar lalu buru-buru duduk, Putra pun berlalu pergi. Juni yang ada di
sebelahku – dan tak tahu apa-apa tentang kejadia kemarin – menatapku dengan tatapan
bertanya, simpati atau entahlah apa itu, aku tak terlalu peduli. “Kamu sama Aby
pacaran yah?”
“Enggak!”
sergahku tanpa berfikir, aku dapat melihat perubahan raut wajah Juni yang sekarang
berubah agak takut. “Sori, enggak. Kemarin aku sama dia Cuma boncengan pas
pergi ke rumah Gito”
Juni
mangut-mangut lalu kembali sibuk dengan urusannya. Aku hendak pergi keluar
kelas namun suara Juni menghentikanku. “Kalau kamu suka sama dia, jangan
setengah-setengah”
Aku
menatapnya dan ia menatapku balik, lalu Juni tersenyum penuh arti.
Ingat
itu Lian, jangan setengah-setengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar