Bukan
Cerpen tapi Diary
-Ini
adalah untaian cerita massa SMA-ku-
By: Berliana Syafitri
Series
Aku Liana Safira
dengan semua cerita tentang masa SMA-ku^^
#2
Promise
Setelah
beberapa minggu kulalui bersama kelas X.B, satu pertanyaan muncul di kepalaku
‘Apa aku
mulai menyukainya?’
‘Faby
Irvan Riansyah?’
Oke, dia
memang anak yang aneh, tapi sifatnya itu, lho & sepertinya aku mulai
tertarik padanya. Tapi tentang Adit, oke aku memang menyukainya sejak 3 tahun
yang lalu. Tapi kenapa? 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar? Lagi pula, banyak
anak-anak kelas ini yang menebak kalau aku menyukai Adit. Padahal aku belum
memberi tahu siapapun, sungguh!
“Hey
nak, siapa nama kamu?” bu Intan, guru matematika menunjukku dengan spidolnya
dari meja guru.
“Liana
bu” jawabku takut-takut. Jelas saja takut karena aku dengar dari cerita kakak
kelas kalau bu Intan adalah salah satu dari banyaknya guru killers dalam
tingkat sedang di SMA Harapan.
“Sini
kerjain soal yang satu ini. Dari tadi kerjaannya melamun terus” katanya ketus
yang membuatku langsung saja berdiri dan maju ke depan kelas tanpa pikir
panjang. Aku mengambil spidol yang diberikan oleh bu Intan takut-takut lalu
mulai menghadap kepapan tulis dengan maksud mengerjakan soal yang tadi
diberikan bu Intan.
Para
siswa di belakangku mulai kasak-kusuk tak jelas. Astaga, kenapa aku harus
melamun di pelajaran bu Intan sih?! Bodoh sekali aku..
Sepersekian
menit kemudian aku kembali duduk dibangkuku dan menatap jawabanku dipapan tulis
dengan bangga. Anak-anak kelas menatapku takjub, haha. Aku keren kan karena
bisa mnejawab soal seperti itu tanpa memperhatikan saat guru menjelaskannya,
haha.
Jam
istirahat pun tiba, Aby si ketua kelas – astaga, Aby! – masuk ke kelas dengan
membawa setumpuk kertas ditangannya. Aku menatapnya sebentar lalu memilih untuk
keluar kelas.
Hari
demi hari berlalu, semuanya berlalu dengan normal tanpa perkembangan apapun,
baik Adit maupun Aby – yang entah kenapa namanya harus kumasukkan ke sini. Tapi
hari ini, sesuatu yang cukup spesial terjadi. Awal dari munculnya kata ‘Rabu
penuh keajaiban’
Rabu ini
berlalu dengan normal dengan sedikit bumbu keajaiban. Mau dimulai dari mana
yah? Karena sebenarnya, hari ini kulalui dengan memandang dia – yang ketawa
beda lagi.
Tema
hari ini tentang sebuah kertas – thanks kertas!
Aku berjalan
sendirian di tengah ramainya siswa yang tengah sibuk berjalan kesana-kemari.
Dalam perjalananku, aku melihat seorang Adit tengah membawa bunga mawar hasil
dari curiannya di taman sekolah. Melihat itu, hatiku sedikit tertohok karena
pasti, bung mawar itu akan diberikan kepada pacarnya yang sangat cantik itu. Moodku
berubah jelek.
Aku
memasuki kelas dengan langkah gontai.
“Lian,
kenapa?” tanya Ani yang langsung menghampiriku, kau benar-benar temanku Ani!
“Gak apa
kok” dustaku padanya dan ia hanya mengangguk. Lalu aku menemukan sebuah kertas
diatas meja Ani.
“Ini
kertas apa?” tanyaku pada anak-anak kelas. Tak ada satupun jawaban dari anak
–anak kelas, sungguh keterlaluan.
Tiba-tiba
saja, Aby muncul disampingku. Aku kembali bertanya “Ini kertas apa?”
“Oh, itu
biodata. Kita disuruh ngisi lagi”
“Hah?
Biodata lagi? Bukannya waktu itu udah ngisi biodata yah?”
“Gak
tau, itu kan perintah guru. Kita yang statusnya ‘murid’ cuma bisa menuruti
kata-kata mereka.. Hmm, oh ya. Kertasnya kan cuma satu, jadi tolong kasih tau
si bendahara buat di fotocopy yah” katanya sambil berlalu.
Aku pun
menemui bendahara kelas kami yaitu Ani yang sedang duduk di luar kelas bersama
teman-teman SMP-nya. “Ani, ini kertas kata si ketua kelas harus di perbanyak
sebanyak anak kelas kita”
“Oh iya,
kamu tolong kasih tau Aby, biar dia aja yang fotocopy-innya. Ni uangnya” kata
Ani santai sembari menyodorkan uang 10.000 kepadaku. Aku menerimanya dengan
kikuk lalu kembali masuk kekelas.
“Ketua
Kelas! Aby! Faby Irvan Riansyah!” panggilku secara berkala.
Ia
mendatangiku dengan wajah masamnya, aku hanya dapat menahan tawa melihat wajah
masam – tapi imutnya – itu. “Kenapa?” tanyanya
“Anu,
tadi Ani bilang. Yang fotocopy-in kertas biodata ini kamu aja”
“HAH?
Aku lagi?” katanya heboh membuatku mengernyitkan dahi. Aku mengangguk kaku.
“Oke deh, sini”
“Bener
nih? Aku sebenernya mau jadi sukarelawan untuk fotocopy-in kertas ini, soalnya
aku mau minggat pelajaran Matematika, hehe”
“Biar
aku aja, terus gak usah fotocopy disini, mahal. Mending di deket rumah aku,
murah lho” katanya sambil tersenyum, dan tanpa sadar aku ikut tersenyum. “Sini
uangnya, gak mungkin kan pake uang aku”
Aku
memberikan uang 10.000 yang tadi diberikan Ani padaku ke Aby, “Nih, awas
korupsi” kataku menggodanya. Dan ternyata dia balas menggodaku “Haha, mungkin
nanti kembaliannya Cuma 2000, haha”
“Eh”
itulah satu-satunya responku dan dia hanya tertawa membahana.
~*~
Pelajaran
Seni pun tiba, namun guru seni itu tak dapat masuk. Jadi, kami hanya diberi
tugas yang awalnya hanya disampaikan ke Adit lalu Adit memberitahuku untuk
diberitahukan ke seluruh siswa kelas X.B, begitulah siklusnya.
“Hmm,
Oke. Jadi kata Pak Fadil, kita disuruh buat kelompok untuk latihan gitar”
jelasku lalu menuju meja guru untuk mebuat kelompok.
Dan
setelah beberapa emnit dihabiskan untuk membuat kelompk, akhirnya kelompoknya
telah dibuat. Namun sayangnya, aku tak berada di kelompok yang sama dengan Aby
maupun Adit. Tapi aku ada di kelompok yang sama dengan Putra.
Aku
memperhatikan Putra yang tengah memetik senr gitar tersebut, namun bodohnya
aku, kunci/chord C saja aku masih ‘jrug’. Setelah lelah belajar, aku lebih
memilih untuk bergabung dengan teman-temanku yang tengah mengobrol dengan Adit
di sudut kelas.
“Gimana?
Udah bisa main gitarnya tadi?” tanya Aby membuatku berhenti.
Aku
hanya tersenyum – sebagai cara menyembunyikan betapa senangnya hatiku ditanya
seperti itu oleh seorang Aby. Astaga! Perhatian sekali dia, atau jangan-jangan
dia suka sama aku – abaikan ini. “Hehe, Masih jrug” jawabku dan ia hanya
tersenyum. Aku pun buru-buru kembali kebangkuku – melupakan semua tujuan awalku
yaitu ikut mengobrol dengan Adit.
Namun
kebahagiaan itu tiba-tiba terhapus begitu saja karena munculnya bayangan saat
Adit tengah mengajari Ani bermain gitar, ah, mereka tampak begitu mesra. Aku
menidurkan kepalaku ke meja frustasi.
Malam
pun tiba, aku menatap kosong Handphoneku yang tak menunjukkan tanda-tanda SMS
dari siapapun. Lalu, aku mengambil sepotong kertas di tasku yang bertuliskan
nomor Handphone seseorang.
Dari:
Liana
Aby,
sisa uangnya berapa?
Setelah
5 menit berlalu tanpa balasan, aku meletakkan Handphoneku diatas bantal tidurku
lalu memilih untuk menulis di meja belajar. Tapi, bunyi SMS membuatku buru-buru
mengambil Handphone itu kembali.
Dari:
Aby
5000,
aku gak bakal korupsi Lian.
Huah!
Aby membalasnya! Aby membalas pesanku! Huahaha, mimpi apa aku semalam..
Dari
Liana:
Cuma
tanya kok By. Jangan diambil hati dong.
Dari:
Aby
Hehe. Oh
iya, Pr sejarah udah selesai?
Dari:
Liana
Udah
dong, kamu udah?
Dari:
Aby
Udah,
tapi yang essay belum. Besok disekolah liat yang kamu yah?
Dari:
Liana
Enak
aja. Hehe, okesip. Udah dulu, ya. Aku mau tidur. Pai.
Tak ada
balasan hingga 10 menit kedepan. Jadi aku meninggalkannya tidur dengan hati
berbunga-bunga.
Paginya
aku pergi kesekolah dengan senyum lebar – amat lebar, lho – sembari mengingat
pesan manis yang baru ku baca tadi pagi.
Dari:
Aby
Oh iya
deh. G’Nite, mimpi indah :)
Aku
melangkahkan kakiku ke sekolah dengan bahagia. Senyumku semakin lebar saat
melihat wajah segar Aby di pagi hari yang tengah tertawa bersama teman-temannya.
Aku pun duduk meja ku dan melihat setumpuk kertas hasil fotocopy-an Aby.
~*~
Sehari
setelahnya, aku berangkat sekolah dan tak lupa untuk tersenyum.
Aku melangkahkan
kakiku kekelas dan memperhatikan sekeliling. Semuanya tampak normal tanpa
perubahan berarti. Siswinya masih terbagi atas 2 kelompok besar, siswa
laki-lakinya yang sibuk mengobrol tentang pertandingan bola. Tapi, mereka
kurang satu – kelompok siswa laki-lakinya, maksudku. Dimana Aby?!
Aku
mengedarkan pandangku dan menemukan sosok Aby tengah menidurkan kepalanya di
mejanya. Hari ini dia menggunakan jaket warna merah, tapi.. apa yang membuatnya
tampak seperti itu? Apa mungkin dia sakit?
“Pagi
Lian” sapa Juni ramah lalu menarikku untuk duduk dibangku kami. “Tau gak?
Rupanya si Irma sama Nindy suka sama K-Pop juga, lho. Senangnya punya banyak
teman K-Popers di kelas ini” lanjutnya.
“Serius?
Huah, rupanya kita gak sendirian yah, haha” kataku mencoba tampak tertarik
dengan percakapan kami ini. Namun tetap saja, otakku dan hatiku tak bisa
mencerna semua yang Juni katakan padaku setelahnya, tapi yang kutahu, dia
tengah membahas masalah yang tidak berhubungan dengan Aby. Oke, aku terlalu
egois memang.
“Oh ya Jun,
itu Aby kenapa yah?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Juni
mengendikkan bahunya tanda tak tahu, lalu ia kembali bercerita tentang K-Pop
dan hal lain yang bersangkutan.
“Aby”
panggil Adit, “Mau ikut daftar OSIS gak?”
Aby
mengangkat kepalanya, “Enggak ah”
“Serius?
Bukannya kamu dulu pengen masuk OSIS yah?”
“Enggak
ah, aku udah gak minat lagi” jawab Aby lalu kembali menidurkan kepalanya
dimeja.. Aku tau dia berbohong. Bagaimana mungkin Aby bilang kalau ia tak
tertarik masuk OSIS padahal semalam kami membahas tentang OSIS dan keinginan
Aby untuk masuk OSIS – dan tentunya aku yang awalnya sudah tak berniat masuk
OSIS kembali bersemangat untuk masuk OSIS, tentunya karena ada Aby lho ya.
Adit pun
pergi, tak berminat untuk memaksa Aby mendaftar calon OSIS tahun ini.
Jam
07.15; saatnya memulai pelajarn pertama!
Bu Rita,
wali kelas kami memasuki kelas. Bu Rita adalah salah satu guru senior di SMA
Harapan ini dan beruntungnya kelas kami dapat menjadi anak murid dari bu Rita
ini, beliau merupakan guru mata pelajaran Geografi yang amat baik, jauh lebih
baik dari pada guru-guru lainnya.
Aku
menatap Bu Rita yang sedang menjelaskan pelajarannya dengan semangat. Sesekali
aku menatap Aby yang duduk di seberang sana tengah mencatat hal-hal penting
yang disampaikan bu Rita. Wajah Aby tampak pucat dan ia sama sekali tak membuka
jaket merahnya itu, sesekali ia memengan kepalanya dengan gelisah.
Aby
kenapa?
“Faby,
kenapa?” tanya bu Rita mewakili perasaanku dan mungkin anak-anak kelas kami
yang penasaran dengan kondisi Aby.
Aby
mengangkat kepalanya lalu menatap bu Rita, “Gak apa kok bu” dustanya. Astaga
Aby, kalau kamu sakit bilang aja sakit, jangan membohongi dirimu sendiri!
Bu Rita
berderap ke meja Aby lalu menyentuh dahi Aby untuk merasakan suhu tubuhnya.
“Badan kamu panas, pulang aja yah?”
“Enggak
bu, nanti pas jam istirahat bisa ke UKS” jawab Aby.
Bu Rita
tampak tak setuju dengan kata-kata Aby itu, lalu bu Rita memanggil Fitrah untuk
mengantar Aby ke guru piket. “Antar Aby ke guru piket, bilang kalo dia sakit
dan butuh istirahat dirumah” kata bu Rita. Mau tak mau, Aby harus menuruti
kata-kata bu Rita.
Aby pun
berdepa meninggalkan kelas, kami hanya bisa menatap kepergiannya.
Aku
melamun dan mengingat percakapan kami semalam.
Dari:
Liana
Aby tau
nggak? Besok pendaftaran OSIS udah dibuka, lho. Kamu ikut nggak?
Dari:
Aby
Ikut
dong, aku bener2 pengen masuk OSIS. Kamu daftar nggak?
Aku
terdiam sebenatar, menatap SMS yang baru masuk itu. Sebenarnya aku sama sekali
tak berminat untuk masuk OSIS semenjak akhir masa Orientasi, informasi yang
tadi kuberikan ke Aby hanya sebuah basa-basi agar aku bisa mengobrol dengannya
malam ini. Tapi,, melihat betapa semangatnya Aby saat aku memberi tahu
informasi itu, keinginanku untuk masuk OSIS sepertinya tumbuh kembali.
Dari:
Liana
Daftar
dong, haha. Mau daftar bareng? Pendaftarannya dimulai pukul 06.30 lho yah,
jangan lupa ;)
Dari:
Aby
Oke sip.
Makasih infonya.
Dan
seperti itulah obrolan kami semalam.
Kenapa
Aby sakit? Atau jangan-jangan, dia sakit karena aku kemarin memberinya kertas
lagi untuk di fotocopy-kan. Astaga, pasti karena itu. Padahal kemarin dia telah
mencoba untuk menolaknya, tapi aku terus saja memaksanya untuk mem-fotocopy-kan
kertas itu di daerah tempat tinggalnya karena katanya Aby disitu murah..
Ya
ampun, betapa kejamnya aku. Sekarang aku telah menghancurkan keinginana Aby
untuk masuk OSIS dan malah membuatnya sakit. Apa yang telah aku perbuat.?!
Jam
istorahat pun tiba. Para siswi kelas kami yang berminat masuk OSIS pun mulai
mendafatarkan dirinya. Lalu seorang dari mereka memanggilku. “Lian, katanya
semalem mau daftar OSIS. Yuk!”
Ah, aku
menyesal memberi tahunya semalam, harusnya cukup Aby saja yang kuberi tahu.
“Sebenarnya, aku...” jawabku ragu. Kalau aku jawab ‘Iya’ itu berarti aku telah
menghianati Aby dan kalau aku menjawab ‘Tidak’, tak akan ada yang terjadi. Toh,
aku ingin masuk OSIS juga karena ada Aby. “Aku udah gak minat lagi” jawabku
selanjutnya. Mereka pun berlalu meninggalkanku.
Tenang
Lian, tak akan ada dampak negatifnya jika kau menolak masuk OSIS sekarang. Lagi
pula, OSIS tahun pertama kan hanya di jadikan ‘budak’. Tenang, tenang saja.
~*~
Sepulang
sekolah, aku buru-buru menyambar Handphone-ku yang ada di atas meja belajar.
Dari:
Liana
Siang
By. Kamu sakit apa? Udah mendingan belum?
Aku
mengirimkan pesan teks pada Aby. 5 menit berlalu, sebuah SMS masuk ke
Handphone-ku
Dari:
Aby
Cuma
pusing aja kok, sekarang udah mendingan, gak usah khawatir. Oh ya, tadi di
sekolah ngapain aja? Ada tugas gak?
Aku
merebahkan diriku di kasur, di saat sakit seperti ini saja ia masih terus
memikirkan tugas. Aku perlu tahu keadaan kamu, bukan ngasih tau kamu
tugas-tugas sekolah yang nantinya akan membuat kepalamu makin pusing, dasar
Aby.
Dari:
Liana
Seperti
biasa, belejar. Tugas gak ada. Oh iya, kamu gak jadi masuk OSIS?
Dari: Aby
:) .
Udah terlambat, kan pendaftarannya Cuma satu hari. Haha, aku gagal.
Maaf By,
semuanya karena aku. Karena rasa egois yang amat besar dalam diriku, karena aku
yang terlalu menuntut untuk mendapatkan suatu moment dengan kamu. Ini salah ku.
Dari:
Liana
Maaf,
tapi tenang aja, tahun depan masih ada kok. Lagian kalo ikut tahun ini, kita
cuma di jadiin semacam ‘budak’ soalnya yang memegang kekuasaan itu kakak kelas,
jadi kalo tahun depan kita ikut, kita gak perlu ngerasain jadi ‘budak’.
Oke itu
isi hatiku.
Dari:
Aby
Makasih
supportnya Lian.
Dari:
Liana
Sama-sama.
Tahun depan kita daftar OSIS-nya bareng ya? Janji?
Dari:
Aby
Oke,
janji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar