Kamis, 01 Januari 2015

Bukan Cerpen tapi Diary




Bukan Cerpen tapi Diary
-Ini adalah untaian cerita massa SMA-ku-
By: Berliana Syafitri
Series
Aku Liana Safira dengan semua cerita tentang masa SMA-ku^^
 


#2
Promise

Setelah beberapa minggu kulalui bersama kelas X.B, satu pertanyaan muncul di kepalaku
‘Apa aku mulai menyukainya?’
‘Faby Irvan Riansyah?’
Oke, dia memang anak yang aneh, tapi sifatnya itu, lho & sepertinya aku mulai tertarik padanya. Tapi tentang Adit, oke aku memang menyukainya sejak 3 tahun yang lalu. Tapi kenapa? 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar? Lagi pula, banyak anak-anak kelas ini yang menebak kalau aku menyukai Adit. Padahal aku belum memberi tahu siapapun, sungguh!
“Hey nak, siapa nama kamu?” bu Intan, guru matematika menunjukku dengan spidolnya dari meja guru.
“Liana bu” jawabku takut-takut. Jelas saja takut karena aku dengar dari cerita kakak kelas kalau bu Intan adalah salah satu dari banyaknya guru killers dalam tingkat sedang di SMA Harapan.
“Sini kerjain soal yang satu ini. Dari tadi kerjaannya melamun terus” katanya ketus yang membuatku langsung saja berdiri dan maju ke depan kelas tanpa pikir panjang. Aku mengambil spidol yang diberikan oleh bu Intan takut-takut lalu mulai menghadap kepapan tulis dengan maksud mengerjakan soal yang tadi diberikan bu Intan.
Para siswa di belakangku mulai kasak-kusuk tak jelas. Astaga, kenapa aku harus melamun di pelajaran bu Intan sih?! Bodoh sekali aku..
Sepersekian menit kemudian aku kembali duduk dibangkuku dan menatap jawabanku dipapan tulis dengan bangga. Anak-anak kelas menatapku takjub, haha. Aku keren kan karena bisa mnejawab soal seperti itu tanpa memperhatikan saat guru menjelaskannya, haha.
Jam istirahat pun tiba, Aby si ketua kelas – astaga, Aby! – masuk ke kelas dengan membawa setumpuk kertas ditangannya. Aku menatapnya sebentar lalu memilih untuk keluar kelas.
Hari demi hari berlalu, semuanya berlalu dengan normal tanpa perkembangan apapun, baik Adit maupun Aby – yang entah kenapa namanya harus kumasukkan ke sini. Tapi hari ini, sesuatu yang cukup spesial terjadi. Awal dari munculnya kata ‘Rabu penuh keajaiban’
Rabu ini berlalu dengan normal dengan sedikit bumbu keajaiban. Mau dimulai dari mana yah? Karena sebenarnya, hari ini kulalui dengan memandang dia – yang ketawa beda lagi.
Tema hari ini tentang sebuah kertas – thanks kertas!
Aku berjalan sendirian di tengah ramainya siswa yang tengah sibuk berjalan kesana-kemari. Dalam perjalananku, aku melihat seorang Adit tengah membawa bunga mawar hasil dari curiannya di taman sekolah. Melihat itu, hatiku sedikit tertohok karena pasti, bung mawar itu akan diberikan kepada pacarnya yang sangat cantik itu. Moodku berubah jelek.
Aku memasuki kelas dengan langkah gontai.
“Lian, kenapa?” tanya Ani yang langsung menghampiriku, kau benar-benar temanku Ani!
“Gak apa kok” dustaku padanya dan ia hanya mengangguk. Lalu aku menemukan sebuah kertas diatas meja Ani.
“Ini kertas apa?” tanyaku pada anak-anak kelas. Tak ada satupun jawaban dari anak –anak kelas, sungguh keterlaluan.
Tiba-tiba saja, Aby muncul disampingku. Aku kembali bertanya “Ini kertas apa?”
“Oh, itu biodata. Kita disuruh ngisi lagi”
“Hah? Biodata lagi? Bukannya waktu itu udah ngisi biodata yah?”
“Gak tau, itu kan perintah guru. Kita yang statusnya ‘murid’ cuma bisa menuruti kata-kata mereka.. Hmm, oh ya. Kertasnya kan cuma satu, jadi tolong kasih tau si bendahara buat di fotocopy yah” katanya sambil berlalu.
Aku pun menemui bendahara kelas kami yaitu Ani yang sedang duduk di luar kelas bersama teman-teman SMP-nya. “Ani, ini kertas kata si ketua kelas harus di perbanyak sebanyak anak kelas kita”
“Oh iya, kamu tolong kasih tau Aby, biar dia aja yang fotocopy-innya. Ni uangnya” kata Ani santai sembari menyodorkan uang 10.000 kepadaku. Aku menerimanya dengan kikuk lalu kembali masuk kekelas.
“Ketua Kelas! Aby! Faby Irvan Riansyah!” panggilku secara berkala.
Ia mendatangiku dengan wajah masamnya, aku hanya dapat menahan tawa melihat wajah masam – tapi imutnya – itu. “Kenapa?” tanyanya
“Anu, tadi Ani bilang. Yang fotocopy-in kertas biodata ini kamu aja”
“HAH? Aku lagi?” katanya heboh membuatku mengernyitkan dahi. Aku mengangguk kaku. “Oke deh, sini”
“Bener nih? Aku sebenernya mau jadi sukarelawan untuk fotocopy-in kertas ini, soalnya aku mau minggat pelajaran Matematika, hehe”
“Biar aku aja, terus gak usah fotocopy disini, mahal. Mending di deket rumah aku, murah lho” katanya sambil tersenyum, dan tanpa sadar aku ikut tersenyum. “Sini uangnya, gak mungkin kan pake uang aku”
Aku memberikan uang 10.000 yang tadi diberikan Ani padaku ke Aby, “Nih, awas korupsi” kataku menggodanya. Dan ternyata dia balas menggodaku “Haha, mungkin nanti kembaliannya Cuma 2000, haha”
“Eh” itulah satu-satunya responku dan dia hanya tertawa membahana.
~*~
Pelajaran Seni pun tiba, namun guru seni itu tak dapat masuk. Jadi, kami hanya diberi tugas yang awalnya hanya disampaikan ke Adit lalu Adit memberitahuku untuk diberitahukan ke seluruh siswa kelas X.B, begitulah siklusnya.
“Hmm, Oke. Jadi kata Pak Fadil, kita disuruh buat kelompok untuk latihan gitar” jelasku lalu menuju meja guru untuk mebuat kelompok.
Dan setelah beberapa emnit dihabiskan untuk membuat kelompk, akhirnya kelompoknya telah dibuat. Namun sayangnya, aku tak berada di kelompok yang sama dengan Aby maupun Adit. Tapi aku ada di kelompok yang sama dengan Putra.
Aku memperhatikan Putra yang tengah memetik senr gitar tersebut, namun bodohnya aku, kunci/chord C saja aku masih ‘jrug’. Setelah lelah belajar, aku lebih memilih untuk bergabung dengan teman-temanku yang tengah mengobrol dengan Adit di sudut kelas.
“Gimana? Udah bisa main gitarnya tadi?” tanya Aby membuatku berhenti.
Aku hanya tersenyum – sebagai cara menyembunyikan betapa senangnya hatiku ditanya seperti itu oleh seorang Aby. Astaga! Perhatian sekali dia, atau jangan-jangan dia suka sama aku – abaikan ini. “Hehe, Masih jrug” jawabku dan ia hanya tersenyum. Aku pun buru-buru kembali kebangkuku – melupakan semua tujuan awalku yaitu ikut mengobrol dengan Adit.
Namun kebahagiaan itu tiba-tiba terhapus begitu saja karena munculnya bayangan saat Adit tengah mengajari Ani bermain gitar, ah, mereka tampak begitu mesra. Aku menidurkan kepalaku ke meja frustasi.
Malam pun tiba, aku menatap kosong Handphoneku yang tak menunjukkan tanda-tanda SMS dari siapapun. Lalu, aku mengambil sepotong kertas di tasku yang bertuliskan nomor Handphone seseorang.
Dari: Liana
Aby, sisa uangnya berapa?
Setelah 5 menit berlalu tanpa balasan, aku meletakkan Handphoneku diatas bantal tidurku lalu memilih untuk menulis di meja belajar. Tapi, bunyi SMS membuatku buru-buru mengambil Handphone itu kembali.
Dari: Aby
5000, aku gak bakal korupsi Lian.
Huah! Aby membalasnya! Aby membalas pesanku! Huahaha, mimpi apa aku semalam..
Dari Liana:
Cuma tanya kok By. Jangan diambil hati dong.
Dari: Aby
Hehe. Oh iya, Pr sejarah udah selesai?
Dari: Liana
Udah dong, kamu udah?
Dari: Aby
Udah, tapi yang essay belum. Besok disekolah liat yang kamu yah?
Dari: Liana
Enak aja. Hehe, okesip. Udah dulu, ya. Aku mau tidur. Pai.
Tak ada balasan hingga 10 menit kedepan. Jadi aku meninggalkannya tidur dengan hati berbunga-bunga.
Paginya aku pergi kesekolah dengan senyum lebar – amat lebar, lho – sembari mengingat pesan manis yang baru ku baca tadi pagi.
Dari: Aby
Oh iya deh. G’Nite, mimpi indah :)
Aku melangkahkan kakiku ke sekolah dengan bahagia. Senyumku semakin lebar saat melihat wajah segar Aby di pagi hari yang tengah tertawa bersama teman-temannya. Aku pun duduk meja ku dan melihat setumpuk kertas hasil fotocopy-an Aby.
~*~
Sehari setelahnya, aku berangkat sekolah dan tak lupa untuk tersenyum.
Aku melangkahkan kakiku kekelas dan memperhatikan sekeliling. Semuanya tampak normal tanpa perubahan berarti. Siswinya masih terbagi atas 2 kelompok besar, siswa laki-lakinya yang sibuk mengobrol tentang pertandingan bola. Tapi, mereka kurang satu – kelompok siswa laki-lakinya, maksudku. Dimana Aby?!
Aku mengedarkan pandangku dan menemukan sosok Aby tengah menidurkan kepalanya di mejanya. Hari ini dia menggunakan jaket warna merah, tapi.. apa yang membuatnya tampak seperti itu? Apa mungkin dia sakit?
“Pagi Lian” sapa Juni ramah lalu menarikku untuk duduk dibangku kami. “Tau gak? Rupanya si Irma sama Nindy suka sama K-Pop juga, lho. Senangnya punya banyak teman K-Popers di kelas ini” lanjutnya.
“Serius? Huah, rupanya kita gak sendirian yah, haha” kataku mencoba tampak tertarik dengan percakapan kami ini. Namun tetap saja, otakku dan hatiku tak bisa mencerna semua yang Juni katakan padaku setelahnya, tapi yang kutahu, dia tengah membahas masalah yang tidak berhubungan dengan Aby. Oke, aku terlalu egois memang.
“Oh ya Jun, itu Aby kenapa yah?” ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Juni mengendikkan bahunya tanda tak tahu, lalu ia kembali bercerita tentang K-Pop dan hal lain yang bersangkutan.
“Aby” panggil Adit, “Mau ikut daftar OSIS gak?”
Aby mengangkat kepalanya, “Enggak ah”
“Serius? Bukannya kamu dulu pengen masuk OSIS yah?”
“Enggak ah, aku udah gak minat lagi” jawab Aby lalu kembali menidurkan kepalanya dimeja.. Aku tau dia berbohong. Bagaimana mungkin Aby bilang kalau ia tak tertarik masuk OSIS padahal semalam kami membahas tentang OSIS dan keinginan Aby untuk masuk OSIS – dan tentunya aku yang awalnya sudah tak berniat masuk OSIS kembali bersemangat untuk masuk OSIS, tentunya karena ada Aby lho ya.
Adit pun pergi, tak berminat untuk memaksa Aby mendaftar calon OSIS tahun ini.
Jam 07.15; saatnya memulai pelajarn pertama!
Bu Rita, wali kelas kami memasuki kelas. Bu Rita adalah salah satu guru senior di SMA Harapan ini dan beruntungnya kelas kami dapat menjadi anak murid dari bu Rita ini, beliau merupakan guru mata pelajaran Geografi yang amat baik, jauh lebih baik dari pada guru-guru lainnya.
Aku menatap Bu Rita yang sedang menjelaskan pelajarannya dengan semangat. Sesekali aku menatap Aby yang duduk di seberang sana tengah mencatat hal-hal penting yang disampaikan bu Rita. Wajah Aby tampak pucat dan ia sama sekali tak membuka jaket merahnya itu, sesekali ia memengan kepalanya dengan gelisah.
Aby kenapa?
“Faby, kenapa?” tanya bu Rita mewakili perasaanku dan mungkin anak-anak kelas kami yang penasaran dengan kondisi Aby.
Aby mengangkat kepalanya lalu menatap bu Rita, “Gak apa kok bu” dustanya. Astaga Aby, kalau kamu sakit bilang aja sakit, jangan membohongi dirimu sendiri!
Bu Rita berderap ke meja Aby lalu menyentuh dahi Aby untuk merasakan suhu tubuhnya. “Badan kamu panas, pulang aja yah?”
“Enggak bu, nanti pas jam istirahat bisa ke UKS” jawab Aby.
Bu Rita tampak tak setuju dengan kata-kata Aby itu, lalu bu Rita memanggil Fitrah untuk mengantar Aby ke guru piket. “Antar Aby ke guru piket, bilang kalo dia sakit dan butuh istirahat dirumah” kata bu Rita. Mau tak mau, Aby harus menuruti kata-kata bu Rita.
Aby pun berdepa meninggalkan kelas, kami hanya bisa menatap kepergiannya.
Aku melamun dan mengingat percakapan kami semalam.
Dari: Liana
Aby tau nggak? Besok pendaftaran OSIS udah dibuka, lho. Kamu ikut nggak?
Dari: Aby
Ikut dong, aku bener2 pengen masuk OSIS. Kamu daftar nggak?
Aku terdiam sebenatar, menatap SMS yang baru masuk itu. Sebenarnya aku sama sekali tak berminat untuk masuk OSIS semenjak akhir masa Orientasi, informasi yang tadi kuberikan ke Aby hanya sebuah basa-basi agar aku bisa mengobrol dengannya malam ini. Tapi,, melihat betapa semangatnya Aby saat aku memberi tahu informasi itu, keinginanku untuk masuk OSIS sepertinya tumbuh kembali.
Dari: Liana
Daftar dong, haha. Mau daftar bareng? Pendaftarannya dimulai pukul 06.30 lho yah, jangan lupa ;)
Dari: Aby
Oke sip. Makasih infonya.
Dan seperti itulah obrolan kami semalam.
Kenapa Aby sakit? Atau jangan-jangan, dia sakit karena aku kemarin memberinya kertas lagi untuk di fotocopy-kan. Astaga, pasti karena itu. Padahal kemarin dia telah mencoba untuk menolaknya, tapi aku terus saja memaksanya untuk mem-fotocopy-kan kertas itu di daerah tempat tinggalnya karena katanya Aby disitu murah..
Ya ampun, betapa kejamnya aku. Sekarang aku telah menghancurkan keinginana Aby untuk masuk OSIS dan malah membuatnya sakit. Apa yang telah aku perbuat.?!
Jam istorahat pun tiba. Para siswi kelas kami yang berminat masuk OSIS pun mulai mendafatarkan dirinya. Lalu seorang dari mereka memanggilku. “Lian, katanya semalem mau daftar OSIS. Yuk!”
Ah, aku menyesal memberi tahunya semalam, harusnya cukup Aby saja yang kuberi tahu. “Sebenarnya, aku...” jawabku ragu. Kalau aku jawab ‘Iya’ itu berarti aku telah menghianati Aby dan kalau aku menjawab ‘Tidak’, tak akan ada yang terjadi. Toh, aku ingin masuk OSIS juga karena ada Aby. “Aku udah gak minat lagi” jawabku selanjutnya. Mereka pun berlalu meninggalkanku.
Tenang Lian, tak akan ada dampak negatifnya jika kau menolak masuk OSIS sekarang. Lagi pula, OSIS tahun pertama kan hanya di jadikan ‘budak’. Tenang, tenang saja.
~*~
Sepulang sekolah, aku buru-buru menyambar Handphone-ku yang ada di atas meja belajar.
Dari: Liana
Siang By. Kamu sakit apa? Udah mendingan belum?
Aku mengirimkan pesan teks pada Aby. 5 menit berlalu, sebuah SMS masuk ke Handphone-ku
Dari: Aby
Cuma pusing aja kok, sekarang udah mendingan, gak usah khawatir. Oh ya, tadi di sekolah ngapain aja? Ada tugas gak?
Aku merebahkan diriku di kasur, di saat sakit seperti ini saja ia masih terus memikirkan tugas. Aku perlu tahu keadaan kamu, bukan ngasih tau kamu tugas-tugas sekolah yang nantinya akan membuat kepalamu makin pusing, dasar Aby.
Dari: Liana
Seperti biasa, belejar. Tugas gak ada. Oh iya, kamu gak jadi masuk OSIS?
Dari: Aby
:) . Udah terlambat, kan pendaftarannya Cuma satu hari. Haha, aku gagal.
Maaf By, semuanya karena aku. Karena rasa egois yang amat besar dalam diriku, karena aku yang terlalu menuntut untuk mendapatkan suatu moment dengan kamu. Ini salah ku.
Dari: Liana
Maaf, tapi tenang aja, tahun depan masih ada kok. Lagian kalo ikut tahun ini, kita cuma di jadiin semacam ‘budak’ soalnya yang memegang kekuasaan itu kakak kelas, jadi kalo tahun depan kita ikut, kita gak perlu ngerasain jadi ‘budak’.
Oke itu isi hatiku.
Dari: Aby
Makasih supportnya Lian.
Dari: Liana
Sama-sama. Tahun depan kita daftar OSIS-nya bareng ya? Janji?
Dari: Aby
Oke, janji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar