Bukan
Cerpen tapi Diary
-Ini
adalah untaian cerita massa SMA-ku-
By: Berliana Syafitri
Series
Aku Liana Safira
dengan semua cerita tentang masa SMA-ku^^
#3
Saingan
Cinta 1
Today
is Monday – oke aku aneh.
Hari ini
adalah hari senin, hari dimana upacara berlangsung dan hari dimana para siswa
memasuki kelas dengan wajah murung dan kalau ditanya karena apa, jawabannya
sudah jelas, upacara. Padahal upacara merupakan salah satu bentuk penghormatan
terhadap bangsa kita, Indonesia. Upacara sendiri dapat melatih kita untuk
mencintai negara, asalkan kita dapat mengikutinya dengan serius penuh khitmat.
Oke,
abaikan apa yang aku bicarakan tadi. Kata-kataku tadi terdengar terlalu bijak,
padahal aku sendiri tidak serius saat mengikuti upacara bendera. Tapi, hey! Aku
normal! Disini, siswa yang menyukai upacara di katakan tidak normal, lho.
Aku
berdiri di barisan nomor 2 kelasku, kelas X.B. Aku – dan tentunya para siswa
lain – mengikuti upacara bendera dengan serius – walau terlihat sekali unsur
paksaannya, karena di belakang kami ada para guru killers tengah mengawasi. Dan
saat dimana guru tengah memberikan amanatnya, itu lah satu-satunya kesempatan
untuk berbicara.
Aku
melirik kesekitar. Tepat disebelahku Adit yang sedari tadi tak tahu diam, sibuk
melakukan sesuatu yang tak ada gunanya. Di depanku ada Dila yang hanya menunduk
– mungkin menghindari sinar matahari yang akan menuju kulit wajahnya. Di
belakangku ada Juni dan disampingku ada Ani. Didepan Adit, ada Aby yang berdiri
dengan tegapnya, satu kata, keren.
“Eh,
liat deh. Kakak kelas yang depan itu cantik yah” Adit menunjuk salah satu kakak
kelas yang berdiri di depan sekali untuk barisan kelas XI.IPA. “biasanya yang
barisan depan itu tu cantik-cantik” lanjutnya membuat Dila sedikit tersentak
“Kalo
gitu aku mundur deh” jawab Dila tampak sedih. Aku hanya menatapnya simpati.
“Haha,
emang kamu jelek Dil? Atau gak, kamu suruh aja si Lian, kan dia cantik” jawab
Adit semaunya.
Dia tadi
bilang apa? Canrik? Dia bilang aku Cantik?! Astaga!
Aku
tersenyum lalu menatap Adit, “Saya anggap itu sebagai pujian” kataku manis,
membuatnya mengernyitkan dahi.
“Bukan,
itu hinaan” katanya kesal. Haha, siapa suruh sok bilang aku cantik – padahal di
dalam hatiku, aku tampak sangat bahagia dibilang cantik oleh Adit. “Oh ya,
Lian.. Kamu pendek banget sih”
Aku
menatapnya sengit, mencoba menahan emosi, lalu kembali tersenyum. “Saya anggap
itu sebagai pujian”
Sepersekian
detik kemudian, dia tertawa namun segera ditahannya karena disaat yang
bersamaan, pembina upacara sudah menutup amanatnya yang sama sekali tak kami
dengarkan, maafkan kami.
Pukul
10:45, pelajaran Bahasa Indoneisa.
Aku
tersenyum menatap teman-teman satu kelompokku. Aku, Ani, Irma dan Putra.
Astaga, aku sudah kenal akrab dengan mereka semua. Pertama Ani, sang bendahara
kelas kami yang perawakannya bisa dibilang heboh dan itu sangat cocok denganku.
Irma, salah satu K-Popers dikelas ini, tapi dia cukup pemalu, lho. Dan terkahir
Putra, teman curhatku. Kenapa teman curhatku laki-laki? Karena dari SMP, aku
lebih sering cerita sama laki-laki, tapi untuk Via, di khusus, lho.
Lalu,
Adit muncul di tengah-tengah kelompok kami tanpa alasan yang jelas, kalaupun
alasannya jelas itu pasti karena dia ingin menganggu kami, dasar. Tapi
untunglah, ibu Winti tengah keluar kelas, jadi kami bisa ribut sebebasnya.
“Putra,
tukeran kelompok yuk?” ajaknya pada Putra dan Putra hanya bisa mengendikkan
bahunya. “Please... Kelompok aku tu ya, isinya orang-orang pendiem semua, gak
seru”
“Jadi
maksud kamu kelompok kami ini ribut?” tanyaku dengan wajah datar dan ia hanya
mengendikkan bahunya.
Tiba-tiba,
Adit memukul kepalaku dengan pena miliknya. Aku menatapnya sangar. “Apaan sih?
Sok romantis banget” kataku, lalu mengambil pena milikku, keluar dari bangkuku
dan hendak memukulkan pena itu ke kepala Adit, tapi tak kena. Dan parahnya, aku
malah memegang salah satu tangannya.
“Hiihh,
cari-cari kesempatan ni” ucapnya terdengar sangat kejam dan itu tampak
membuatku terlihat begitu nakal.
“Siapa
juga” jawabku sembari berjalan dan menyembunyikan wajahku yang terasa panas.
Astaga, harusnya aku tak membiarkan kontak fisik terjadi diantara kami.
Tok
Adit
kembali memukulkan penanya ke kepalaku. Namun kali ini, aku tak menanggapinya
karena sebenarnya, dipukul dengan pena itu tidak terlalu sakit. Kenyataannya
aku hanya melebih-lebihkannya saja agar aku dapat mendapatkan moment yang lebih
spesial dari moment sebelumnya, tapi saat aku tahu begini jadinya, aku jadi
menyesal.
“Lian,
temenin aku ke WC ya” Ani mengajakku secara tiba-tiba.
Aku yang
saat itu dalam kondisi yang cukup buruk untuk melanjutkan tugas kelompok kami
karena – oh, ayolah – ada Adit yang duduk dengan nyamannya di sebelah Putra.
Dan dengan asumsi baru, yaitu; aku harus menjauhi Adit dalam jarak radius 5
meter selama 3 hari ini.
“Oke
deh, yuk” jawabku pada akhirnya.
Aku dan
Ani berdiri di depan kaca WC perempuan.
“Hmm,
Lian” panggilnya ragu, aku segera menoleh.
“Iya”
Ani
tampak ingin mengatakan sesuatu namun kata-kata itu hanya tertahan di
tenggorokannya. “Hmm, Jujur.. Aku kagum sama Aby”
Jantungku
sedikit berdenyut saat mendengar nama Aby disebut, tapi aku mencoba tampak
biasa. “Setuju!”
“Haha,
karena sifatnya itukan?” Ani menatapku dengan pandangan agak sinis mungkin,
tapi aku buru-buru membuang fikiran buruk itu.
Aku tertawa,
“Hanya kagum”. Kami pun kembali kekelas.
Baru
saja sampai di depan WC, orang yang baru saja kami bicarakan muncul.
Aku dan
Ani buru-buru meninggalkan WC dengan tertawa.
~*~
Malam
pun tiba!
Aku
mengerjakan PR sembari mendengarkan lagu, namun tiba-tiba, handphoneku bergetar
tanda sebuah SMS masuk.
Dari:
Ani
Benih
yang ditanam, dipupuk dan dirawat dengan baik akan menghasilkan buah yang amat
baik jika di jaga dan di rawat bersama-sama.
#Spam
Rupanya
SMS Ani. Hmm, siapa orang yang di
maksud di pesan ini?
Sebuah
nama tiba-tiba terlintas di pikiranku,namun aku buru-buru menghapus nama itu
dan melanjutkan belajarku.
Keseokan
harinya
Seperti
biasa, aku sekolah dengan begitu ceria. Huah, alsannya karena hari ini ada
pelajaran Matematika – my favorite subject, walaupun gurunya seperti itu – dan
karena adanya kehadiran dua mahkluk tuhan yang wajahnya sangat menggemaskan,
walaupun salah satu dari mereka – itu Adit – punya hobi untuk menganggu
ketenangan orang, tapi – oh ayolah – aku menyukainya.
KERJAKAN
LATIHAN BIOLOGI HALAMAN 14-15 YANG BAGIAN PILGAN. HARI INI DIKUMPUL!
Aku
menatap tulisan di papan tulis itu lama, “Aby, itu beneran ngumpulnya
sekarang?” tanyaku pada Aby karnea ia pasti tau, dia kan ketua kelas. Aby
mendekatiku, lalu berbisik “Enggaklah, itu cuma bohongan aja biar anak-anak
kelas ngerjain plus gak ribut”
Dia
menjauhkan diri dariku, namun betapa terkejutnya ia saat di belakangnya
ternyata ada Adit yang sepertinya mendengar ucapannya tadi. “Kamu mau nipu kita
yah” tanya Adit dengan wajah anehnya membuat Aby mundur selangkah.
“OY,
TUGASNYA DIKUMPUL PAS PERTEMUAN BERIKUTNYA!” teriak Adit begitu semangat tak
lupa tersenyum sinis. Anak-anak kelas yang tadinya tampak begitu rajin menulis
dan mencari jawaban langsung bersorak senang.
Aku dan
Adit tertawa geli. Aby hanya menatap kami dengan tatapan ini-semua-salah-kalian
tapi mau bagaimana lagi, semuanya telah terjadi, nasi sudah menjadi bubur.
“Sori” kataku manis lalu memilih untuk duduk dibangkuku dan mengerjakan tuags
yang diberikan walaupun aku tahu tugas itu tak akan dikumpulkan hari ini. Aby
pun melakukan hal yang sama. Ia kembali ke bangkunya dengan wajah sedih,
kasihan.
Anak-anak
kelas mulai ribut, ada yang bermain, ada yang mengobrol, ada yang sibuk dengan
Laptop/Notebooknya, dan ada yang masih tetap melanjutkan tugasnya – seperti aku
dan Aby misalnya. Aku yang sudah selesai bergabung dengan kerumunan kecil yang
tengah bermain sambung lagu dengan serunya di barisan sebelah bangkuku.
Aku
pun bergabung dengan mereka, namun parahnya aku, tak ada satupun lagu yang bisa
ku sambungkan, meskipun itu begitu mudah. Alhasil, aku pun menerima hukuman
yaitu menari di depan kelas. Aku dengan wajah masam berdiri di depan kelas –
tidak terlalu depan sih, lagian siapa yang mau menari di depan kelas, bisa-bisa
aku menjadi bahan cemoohan untuk periode 7 hari mendatang. Aku maju beberapa
langkah hingga berdiri di depan meja Ani – agar tidak terlalu malu.
Aku
mulai menggerak-gerakkan tanganku bermaksud untuk memulai menari namun selintas
ide muncul di benakku. Aku mengubah gerakanku menjadi gerakan dance Gee milik
SNSD. Aku menari dengan semangatnya sambil mendendangkan lagu Gee tanpa ada
perasaan malu. Lalu seorang anak yang duduk di depanku yang merupakan teman
sebangkunya Ani berkata, “Lian, kamu aneh”
Krek
Seketika
aku berhenti menari. “A-aa”
Wulan
– nama anak itu – menatapku datar, “Iya, kamu aneh”
Aneh?
Aneh katanya? Maksud dia apa?!!
“Maksudnya?”
“Menurutku
kamu cukup pintar untuk tau apa itu ‘Aneh’” jawabnya santai dan sedikit
menekankan pada kata Aneh.
Oh,
Oke.. Aku aneh dan aku tahu apa maksud dari aneh itu.
Aku
terdiam selama beberapa menit lalu memilih untuk duduk di samping Wulan, tak
lagi mengikuti permainan yang pasti akan dikatakan aneh oleh Wulan. Kami diam
tak saling berkata selama beberapa menit, wulan sibuk dengan gambarannya – dia
pintar menggambar dan gambarannya sangat bagus, lho – dan aku sibuk dengan
pikiranku sendiri. “Hmm, Wulan.. Kenapa kamu bilang aku aneh?”
Dia
berhenti menggambar, “Kamu bisa ngerasainnya sendiri kan?” katanya kejam,
“Lagian, aku baru ketemu sama cewek yang kayak kamu. Bisa dengan percaya
dirinya menari sambil nyanyi di depan kelas. memang sih gak ada yang
memperhatikan, tapi kan... kamu taulah”
Oh,
jadi karena itu. “Hehe, aku sering kok kayak gini”
“Karena
itulah cowok yang kamu suka gak terlalu simpati sama kamu”
“Jadi
aku harus bagaima.. eh, emang kamu tau aku suka sama siapa?” tanyaku sedikit
terkejut.
“Adit
kan? Sama si Aby” jawabnya santai tanpa nada berbisik atau apapun. Astaga!
Siapa yang memberi tahu dia?! Rasanya yang tau aku suka sama Adit cuma Putra,
Ani, sama Juni. Terus yang tau aku suka sama Aby cuma Putra seorang.
Jangan-jangan Putra nyebarinnya ke orang-orang. “Aku tau sendiri kok, kamu
keliatan banget kalo suka sama mereka”
Begitukah?
Senampak itukah?
Aku
menunduk, lalu aku dapat merasakan tangan seseorang membelai rambutku.
“Tenang
aja, aku bisa bantu kamu kok biar gak jadi aneh lagi” katanya menenangkanku.
Aku menatapnya penuh harapan, “Coba jadi sedikit feminim untuk waktu 5 hari
ini, cara jalan, sikap, cara bertutur kata, itu harus diubah menjadi sedikit
feminim. Mengerti?”
Aku
mengangguk mengerti. Terima kasih Wulan.
~*~
Rabu
penuh keajaiban pun tiba! Tapi, aku mencoba untuk tidak terlalu bersemangat dan
tak terlalu berekspresi untuk rabu penuh keajaiban ini, karena – kalian tahu
kan – aku sudah dibilang ‘aneh’ oleh seorang Wulan yang menurut kacamataku jauh
lebih ‘aneh’ dia dari pada aku.
Jadi,
aku menjalani hariku dengan D-I-A-M, tak banyak bicara, murung dan hal-hal lain
sejenisnya.
Aku
duduk dibangkuku sembari menulis tugas yang diberikan guru – karena kebetulan
gurunya tidak masuk dan itu membuat anak-anak kelasku merasa sangat bahagia. Adit
teman-temannya pun bermain perang kertas – dan itu benar-benar tak berguna – di
kelas sambil berlari-lari. Aby yang biasanya tak ikut, sekarang malah bergabung
dengan kelompok Adit.
Kertas-kertas
itu pun melayang di udara, dan mereka mulai saling menyerang, ada yang kena dan
ada yang tidak, kadang mereka tak sengaja menyerang salah satu dari anggota
kelompok mereka sendiri. Adit yang sedari tadi tak pernah kena, berlari kesana
kemari dengan senangnya, keringatnya pun bercucuran, ingin rasanya mengelap
keringat si Adit.
Plak
Aby yang
melempar bola itu menatapku ngeri, aku mengambil gumpalan kertas yang tadi
sempat mengenai kepalaku lalu menatapnya ganas. “DASAR!” teriakku, lalu
terdiam, teringat kata ‘aneh’. Aku
menarik nafas hingga 5 kali lebih dan menyempatkan diri untuk melirik kearah
Wulan dan ia melihat kearahku dengan tatapan sabar-aja-atau-citra-aneh-bakal-kembali.
Aku
melemparkan kertas itu kearah Aby dan dilangsung ditangkapnya. Aku kembali
duduk, lalu seseorang berdiri di depanku.
“Kamu
tambah aneh kalo diem kayak gini” kata Putra bijak, lalu kepalanya terkena
salah satu gumpalan kertas. Ia pun kembali bermain.
Aku
sedikit tersentak dengan kalimat Putra tadi, dengan ragu, aku melirik Wulan
yang tengah asyik dengan dunianya sendiri yang dituangkannya pada sebuah kertas
tak lupa dengan goresan-goresan halus yang menciptakan sebuah gambaran indah.
Kayaknya
aku harus kembali jadi diriku yang sebenarnya, manusia aneh menurut mereka,
tapi normal menurutku. Kalau terus seperti ini, aku merasa menemukan orang
asing tengah bersemayam di tubuhku yang menjadi penghalang bagiku untuk
bertindak seperti biasanya.
Matahari
semakin tinggi bersinar, perlahan aku kembali ke sosok asliku, ceria dan penuh
kehebohan.
Pukul
12:30, waktunya istirahat makan siang!
Aku mengeluarkan
semua tenagaku untuk mengerjakan 10 soal essay Bahasa Indonesia, karena apa? Karena
aku lupa membuatnya. Dan setelah 25 menit berlalu, aku terkulai lemas dibangku
ku sendiri.
“Wah,
hebatnya 10 soal essay dalam 25 menit, padahal jawabnnya panjang-panjang dan
susah-susah semua, lho” puji Ani yang tiba-tiba muncul di sampingku. Aku hanya
tersenyum, karena bagiku saat ini, untuk tertawa atau pun berbicara satu kata
saja sudah menjadi sesuatu yang sangat melelahkan.
“Hmm,,,
Lian. Kamu tau gak arti pesan Spam-ku 2 hari yang lalu?” ia bertanya ragu. Lalu
satu per satu huruf di dalam kepalaku muncul hingga membentuk suatu nama, nama
yang saat Ani mengirimkan pesan Spamnya itu sempat muncul, nama yang saat itu
buru-buru kubuang jauh-jauh.
Nama itu
adalah... “Aby. Faby Irvan Riansyah”
Ani
tersenyum mendengar jawabku, “Kok bisa bener sih”.
Hatiku
hancur, sosok asing dalam diriku kini kembali muncul, sosok yang menjadi
penghalangku untuk melakukan tindakan-tindakan aneh, bagian dalam diriku yang
bisa dibilang sedikit normal itu muncul, membuatku kembali diam tak berkutik.
“Kenapa?”
tanya Ani samar, “Atau mungkin, kamu juga suka sama Aby”
“Tentu
saja tidak!” aku langsung menyangkalnya.
Oke ini
kesalahanku.
Ani
tersenyum bahagia, “Syukurlah”
Apa yang
telah terjadi?! Kenapa harus Ani? Kenapa harus menyukai orang yang sama dengan
Ani? Orang yang paling bisa mengerti diriku di kelas ini?! Kenapa harus dia?!
‘Kenapa
harus menyukai orang yang sama?’ Tulisku pada bagian belakang lembar bukuku.
Bel masuk
pun berbunyi. Kelas ini pun di penuhi oleh para penghuninya yang tadi sempat
keluar entah kemana untuk mencari makanan – atau hal lain yang bersangkutan.
“Apa
itu?” tanya Aby yang ada di sampingku. Aku menatapnya penuh harapan. Ini
tentang kamu.
“Oh, gak
ada apa-apa kok By” jawabku, dan dia hanya diam. Lalu Fitrah menarik tangan Aby
menjauh dari ku. Mungkin, mungkin saja,, perasaanku ini harus mati demi
orang lebih banyak berharap di banding aku.
Dan hari
ini kuakhiri dengan menjadi normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar